Minggu, 08 November 2009

Kontradiksi dalam praktek demokrasi

Ide awal Demokrasi

Demokrasi dalam pengertian klasik pertama kali muncul pada abad ke-5 SM di Yunani. Rakyat berkumpul pada suatu tempat, membahas pelbagai permasalahan kenegaraan secara langsung. Penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino. Sedangkan demokrasi dalam pengertian modern muncul pertama kali di AS. Prakteknya melalui perwalian aspirasi dari rakyat (demokrasi secara tidak langsung). Konsep demokrasi modern sebagian besar dipengaruhi oleh para pemikir seperti Marx, Hegel, Montesquieu dan Alexis de Tocqueville. Ada keterbatasan di kedua model demokrasi tersebut. Demokrasi langsung hanya bisa dilangsungkan pada negara kota. Demokrasi tidak langsung; tidak pernah mencerminkan kebebasan dan kehendak mutlak dari pemilik kedaulatan, yakni rakyat (mencoblos/memilih seseorang tidak sertamerta memilih suatu persoalan/kepentingan yang harus didahulukan menurut rakyat). Demokrasi langsung hanya menjadi mekanisme memperoleh kekuasaan. Keputusan berdasarkan suara mayoritas dalam demokrasi pada prakteknya tak berbeda dengan sistem totaliter. Sistem totaliter yang diperintah oleh kelompok minoritas dan dalam sistem demokrasi oleh kelompok mayoritas seringkali mengambil keputusan berdasarkan kepentingan minoritas (elit) atau pemilik modal di balik suara elit tersebut, tanpa ada jaminan bahwa kelaliman dalam demokrasi tidak akan terjadi pada kelompok dalam bentuk lain yang lebih halus. Sedangkan persamaan diantara keduanya adalah sama-sama menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan sarana menentukan kepentingan tertentu atas nama negara.

Industri Demokrasi

Demokrasi tidak memiliki standarisasi prinsip, etika dan norma hukum. Negara kampium demokrasi, seperti AS memiliki standar ganda dalam menerapkan praktek demokrasi. Karenanya Demokrasi seringkali menjadi ilusi tersendiri yang tidak pernah menghampiri tujuan utamanya. Malahan seringkali menjelma menjadi industri dengan berbagai kebutuhan dan implikasinya. Kekuatan uang menjadi penentu dari balik ide siapapun memiliki hak untuk dicalonkan dan mencalonkan. Partisipasi politik dalam demokrasi yang paling tinggi adalah mencari dan duduk dalam jabatan politik. Partisipasi ini menunjukkan siapa yang memiliki kekuatan uang, sementara partisipasi politik yang paling rendah adalah mencoblos (mengharapkan perubahan).
Oleh karenanya demokrasi hanya dapat dimengerti dalam konteks kapitalisme. Demokrasi menyeret suatu negara mendekati atau menjadi liberal. CB. Macpherson mengatakan demokrasi yang matang hanya ditemukan di negara-negara yang sistem ekonominya secara keseluruhan atau secara dominan terdiri dari perusahaan-perusahaan kapitalis. Tatanan demokratis tersebut harus mengakomodasikan diri dengan tempat yang telah disiapkan oleh masyarakat yang bekerja secara kompetitif secara individualis dan berekonomi pasar dan dengan bekerjanya negara liberal, yang melayani masyarakat tersebut dengan satu sistem kompetisi partai yang bebas meskipun tidak demokratis. Josep Schumpeter (1883-1950) mendefinisikan demokrasi sebagai suatu mekanisme untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, bukan suatu jenis masyarakat dan juga bukan seperangkat tujuan moral. Ia bersikeras mengatakan tak ada kandungan moral dalam demokrasi. Demokrasi adalah mekanisme pasar : para pemilih adalah konsumen; para politisi adalah wiraswastawannya. Sedangkan Anthony Downs, menggambarkan partai-partai dalam kehidupan politik demokratis adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan memberikan keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama. Karena kelompok-kelompok orang yang berbeda mencari jalan yang berlainan untuk mendapatkan dukungan dari massa, maka partai politik yang berbeda pun dibentuk dan masuk dalam kompetisi satu sama lain. Hal inilah yang membentuk pluralitas dalam demokrasi. Berbagai jenis perhimpunan, profesional ataupun politik dibentuk guna melakukan bisnis kompromi dengan pemerintah. Proses politik dalam demokrasi tidak pernah mengangkat kemauan yang asli ari apa yang dikehendaki oleh rakyat tetapi melalui cara-cara yang tepat sama dengan cara-cara periklanan komersial. Rakyat tidak mengangkat dan juga tidak memutuskan masalah-masalah, tetapi masalah-masalah tersebut yang membentuk nasib mereka. Kendati sistem pasar dalam pengertian liberal bercita-cita menciptakan keseimbangan, namun politisasi demokrasi menghasilkan ketimpangan; kekuatan uang menguasai sistem dan pasar suara tanpa ampun. Maka tak heran jika demokratisasi tidak pernah menghargai isi kepala rakyatnya, kecuali jumlah kepala (suara). Seringkali demokrasi berujung pada :

1. Menjadi instrumen penting menciptakan pragmatisme politik selanjutnya membentuk kapitalisme politik.
2. Dalam kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat mewakili kepentingan orang lain (legislatif).
3. Di Indonesia, di saat kelompok kepentingan adalah mayoritas tunggal (orde baru), berpandangan bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial, sehingga menjadikan kebijakan publik berwujud dalam peraturan untuk pengendalian sosial. Namun saat reformasi, kelompok kepentingan tersebut terdiri dari beberapa kelompok yang saling tergantung dan membutuhkan, maka kebijakan publik yang terwujud adalah kesepakatan atau hasil dari tawar menawar (cerminan kepentingan masing-masing kelompok). Paradigma ini selalu berujung pada kegagalan dalam menjawab persoalan kesejahteraan dan keadilan rakyat.

4. Rezim pemerintahan sah yang dibentuk oleh prosedur demokratis (pemilu) seringkali tidak memiliki kewenangan karena diambil alih oleh kekuatan uang internasional.

5. Tingginya partisipasi politik yang ada (pemilu) seringkali mengalami bias dengan praktek mobilisasi pemilih dengan berbagai latar motivasi, di antaranya primordialisme dan pragmatisme baik dilakukan oleh kelompok rasional maupun tradisional.

Demokrasi yang Tidak Demokratis?

AS sebagai the only super power akan selalu mempertahankan dominasi demokrasi dan kapitalisme. Apalagi setelah musuh kapitalisme (komunis) berhasil dikalahkan. Keinginan AS untuk tetap menjadi satu-satunya kekuatan dunia dimulai sejak George F. Keenan, menulis Long Telegram (dimuat dalam jurnal Foreign Affairs), dikenal dengan doctrine of containment, melahirkan strategi Perang Dingin yang dijalankan oleh AS Serikat saat berhadapan dengan Uni Soviet. Foreign Affairs juga bersama-sama dengan Fund for Peace, menerbitkan skenario berisi prediksi negara-negara yang gagal. Bisa jadi (di)runtuh(kan) dan (di)bubar(kan).
Negara-negara yang terletak di Afrika Barat dan berbatasan dengan Liberia, Guinea, Mali, Burkina Faso dan Ghana diprediksi akan mengalami kehancuran ekonomi, politik, dan mengalami kerusuhan massal yang berkepanjangan. Karenanya membutuhkan intervensi negara asing untuk menyelesaikan masalahnya. Dan yang merasa paling berhak adalah AS.

Selanjutnya, Republik Demokrasi Rakyat Congo, Sudan, diprediksi runtuh. Sudan adalah negara terbesar di benua Afrika. Berbatasan dengan Mesir di Utara, Eriteria dan Ethiopia di Timur, Kenya dan Uganda di Tenggara, Congo dan Republik Afrika Tengah di Barat Daya, serta Chad dan Libya di Barat Laut. Disebutkan, satu dari sekian penyebab runtuhnya Sudan adalah konflik sipil di Darfur dan terus merosotnya tingkat kesejahteraan sosial. Karenanya membutuhkan intervensi negara asing untuk menyelesaikan masalahnya (merasa paling berhak adalah AS?).

Irak telah diporak porandakan oleh AS. Disamping perang saudara yang masih terus berlanjut hingga sekarang. Baik antara Syiah dan Sunni maupun antara kelompok mujahidin dan pasukan yang pro pendudukan AS. Perlu digarisbawahi, pihak yang diuntungkan adalah negara-negara donor yang kelak menguras habis potensi alam Irak. Dan AS, menduduki negara peringkat pertama yang menanamkan modal besar untuk ditarik kembali setelah perang. Selanjutnya adalah Yaman disebut sebagai negara dengan indeks ancaman keamanan yang tinggi, pelayanan umum yang rendah dan pembangunan yang tidak merata. Bahkan Foreign Affairs menyebut Yaman sebagai negara yang kehilangan legitimasi dari rakyatnya sendiri. Sebelum Yaman, pada urutan ketujuh adalah Chad. Sama dengan Yaman, Chad juga diramalkan tak akan bertahan.

Afghanistan sama dengan Irak, negeri yang satu ini juga telah dihancurleburkan oleh serangan militer AS. Dan sama pula dengan Irak, ini adalah tanah yang kaya dengan minyak. Afghanistan tergolong negeri di Asia Selatan. Berikutnya Bosnia Herzegovina, Uzbekistan, Suriah, Pakistan dan Mesir. Uzbekistan adalah negara pecahan Uni Soviet yang memerdekakan diri pada tahun 1 September 1991. Dipimpin oleh Presiden Islam Karimov, sebuah rezim yang dekat sekali dengan AS Serikat dan pemerintahan George Bush. Karena itu, meski terjadi pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan, tak banyak badan internasional yang berani mengutak-atik Uzbekistan. Negeri Asia Selatan lain yang berada di ambang bahaya adalah Pakistan. Berbeda dengan Uzbekistan, meski sama-sama di ambang kehancuran, dunia internasional yang mau tidak mau harus disebut disetir oleh kepentingan AS, begitu was-was dengan ancaman pecahnya Pakistan. Dan lebih dianggap berbahaya lagi, sebab Pakistan memiliki potensi pengembangan nuklir. Libanon dan Mesir, adalah negara-negara berikutnya yang dihitung dan diprediksi akan hancur. Libanon, meski dengan beberapa alasan dianggap berada di garis aman, misalnya tekanan dari dalam negeri, pengungsi, pelanggaran HAM, ancaman keamanan terbilang cukup stabil, entah kenapa negara yang satu ini dinyatakan butuh intervensi pihak asing. Dugaan yang menguat adalah akomodasi pemerintahan Libanon pada kelompok mujahidin yang memberikan perlawanan pada Israel. Libanon adalah salah satu negara yang berbatasan langsung dengan Israel. Libanon dan Israel pernah bersengketa dalam perebutan Dataran Tinggi Gholan yang dicaplok oleh Israel.

Berbeda dengan Libanon, Mesir, meski disebutkan memiliki angka yang tinggi pada tekanan dalam negeri, pembangunan yang tak seimbang serta delegitimasi pemerintahan, Foreign Affairs tak menganggap negeri Piramida ini membutuhkan intervensi asing. Selanjutnya disusul Indonesia, lalu ada Tajikistan dan Turki, Azerbaijan dan Bahrain serta ditutup dengan Iran.
Indonesia, berada pada urutan ke-46 sebagai negara yang di ambang bahaya. Foreign Affairs mendata, tingkat delegitimasi pemerintahan Indonesia sangat tinggi, dengan angka 9.0. Begitu juga dengan kemungkinan disintegrasinya, lebih tinggi dari angka deligimitasi, angkanya 9.2. Artinya, kemungkinan Indonesia tercabik-cabik dan pecah cukup tinggi.
Sebuah laporan lain (sudah terjadi), yang ditulis oleh Kolonel Daniel Smith, dari Center for Defense Information, cikal bakal konflik yang mengantar pada disintegrasi di Indonesia setidaknya ada empat titik. Pertama di Aceh, Papua, Maluku, dan terakhir (tengah dirancang) di Sulawesi. Daftar kehancuran negara-negara ini nampaknya bukan sebuah studi, tapi sebuah rencana yang akan dilaksanakan tahap demi tahap. Bisa jadi, toh selama ini logika terbalik selalu terbukti.

Selain doctrine of containment, ada doktrin clash of civilization yang juga dijadikan kebijakan politik yang diputuskan dalam konvensi Platform Partai Republik George W Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Disamping unilateralisme AS dan statusnya sebagai the only super power harus dipertahankan. Doktrin clash of civilization sebenarnya lahir dari artikel yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam jurnal Foreign Affairs, berkantor di New York, telah berdiri sejak 1920. Semula artikel tersebut berjudul Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Doktrin ini menjadi prediksi (rencana) global tren 2020 yang dikeluarkan CIA yang memuat skenario yang mencoba menawarkan pilihan lain jika saja AS gagal mempertahan dirinya menjadi benteng terakhir kapitalisme. Yakni digantikan Cina atau India. Cina adalah negara Sosialis terbesar, setelah Uni Soviet runtuh yang menganut ekonomi pasar (adaptasi Sosialisme dengan Kapitalisme) meski secara politik tidak berubah. Kebijakan ini membuat Cina menjadi kekuatan besar dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.

Cina memiliki 4 faktor penyokong global power (kekuatan dunia): produk domestik bruto (PDB), populasi, anggaran pertahanan, dan inovasi teknologi . Populasi Cina mencapai 1,299 miliar jiwa. Produk domestik bruto Cina mencapai 6,436 miliar dolar (2004) dan diperkirakan akan menjadi 25,155 miliar dolar di tahun 2025, sementara Cina pada 2004 telah mengeluarkan 65,2 miliar dolar untuk memperkuat pertahanannya. Sebetulnya sudah lama AS memperkirakan kemajuan Cina. Perang Vietnam yang dilakukan oleh AS pada masa Presiden Nixon, memancing keterlibatan Cina dalam membela Vietnam, sehingga kelak bisa dijadikan sebagai justifikasi bagi AS untuk menggebuk Cina. Namun gagal. AS pun terus memprovokasi Taiwan agar melawan kebijakan satu Cina, Krisis nuklir Korea Utara juga dimaksudkan untuk membidik Cina. Terkait isu jaringan al-Qaedah di Asia Tenggara, atau Jamaah Islamiah, mendorong AS untuk menjadikan perairan di Selat Malaka sebagai zona bersama, dimana AS menjadi salah satu pengawasnya. Sementara itu, Konflik India-Pakistan, baik menyangkut isu perbatasan termasuk Kashmir, maupun isu nuklir, juga telah dijadikan justifikasi oleh AS untuk kepentingan yang sama. Dibandingkan era-era tahun sebelumnya (pasca Perang Dunia II), terjadi perubahan yang mendasar dalam pemerintahan AS, terutama kebijakan luar negeri. Di era 50-an hingga 90-an, komunis menjadi musuh utama AS. Sebagai akibatnya, AS harus bertempur di beberapa front: Perang Korea (1950-1953), Invansi Teluk Babi Kuba (1961), Krisis Rudal Soviet di Kuba (Oktober 1962), Perang Vietnam (1968-1975, dan Invasi Grenada (1983). Di samping, itu, AS harus memberikan bantuan kepada “our local friend“: Mujahidin di Afghanistan (1979-1997), Jenderal Pinochet yang mengkudeta presiden Chili berhaluan kiri, Salvador Allende (1973), rezim Jenderal Jorge Rafael Videla yang bertahan dari upaya kudeta oposisi kiri Argentina dalam “Dirty War” (1976-1983), pemberontak UNITA dan FNLA melawan rezim Marxis Angola (pertengahan 70-an hingga akhir 2002), monarki Nepal melawan kaum Maoist (1994), gerilyawan Kontra di Nikaragua (1983-1988), dan rezim-rezim kawasan segitiga AS Latin: El Salvador, Guetemala, dan Honduras.AS terus berusaha untuk melakukan berbagai manuver politik, termasuk di antaranya menghadirkan jumlah pasukan yang sangat besar di Timur Tengah. Donald Rumsfeld pernah menyatakan, bahwa pendudukan AS di Irak bukan untuk menggulingkan Saddan Hussen semata, tetapi untuk mengembalikan demokrasi di Irak. Sementra itu dalam laporan CIA pada 2020 menempatkan Islam sebagai kekuatan ideology lain, nampaknya hal ini didasari oleh perkembangan konstelasi politik Islam yang terus menguat, diantaranya : pertama, berdirinya imarah islam Afganistan yang dipimpin oleh Mullah Muhamad Umar, dengan gelar Amirul Mukminin al-Mullah Muhammad Umar Mujahid al-Hanafi al-Basytuni al-Qandahari al-Abadali al-Afghani, pada tanggal 31 Maret – 4 April 1996. kedua, Daulah Islam Kaukus, dideklarasikan pada 31 Oktober 2007, dipimpin oleh Dokka Umarov, meliputi wilayah kaukus Dagestan, Nokhchiycho (bekas Chechnya), Ghalghacho (bekas Ingushetia), wilayah Iriston (bekas Ossetia Utara). Wilayah Padang Nogay (meliputi bagian utara Chechnya, Dagestan dan distrik Stavropol), Kabarda, Bulkar dan Karachay. Ketiga, tegaknya Daulah Islam Irak yang didahului oleh terbentuknya Majelis Syura Mujahidin Iraq, yaitu : Tanzhim Al-Qaeda Iraq, Jaisy Thaifah Manshura, Saraya Anshor Tauhid, Saraya Jihad Islami, Saraya Al-Ghuraba, Kataib Al-ahwal, Jaisy Anshar al-Sunnah Wal Jama’ah dan Kataib Al-Murabithin, 15 Januari 2006 lalu. Belum lagi pernyataan-pernyataan Adnan Oktar (Harun yahya, pen) dalam buku-buku maupun artikel-artikel, media massa dan televisi menekankan pentingnya Turkish-Islamic Union (Kesatuan Islam Turki atau Uni Islam Turki) dan memberi kabar gembira bahwa kesatuan ini akan segera didirikan. Adnan Oktar berkata bahwa Uni Islam Turki tersebut akan membawa kedamaian, keamanan, kesejahteraan dan keadilan bagi wilayah tersebut dan seluruh dunia, dan menekankan bahwa Turki akan memainkan peran terdepan dalam Uni itu. Adapun wilayah Uni Islam Turki, diperkirakan meliputi : Federasi Rusia, Kazakhstan, Turki Saha, Yakutstan, Kesultanan Burma, India, Pakistan, Iran, Iraq dan Yordania. India berpenduduk 1 miliar. Lalu ada negeri-negeri Afrika
Secara retorik, alasan utama di balik seluruh kebijakan luar negeri AS Serikat yang intervensionis, adalah untuk mempromosikan demokrasi. Atas nama demokrasi, pemerintahan negeri Paman Sam, merasa berhak melakukan intervensi politik ke negara lain yang dipandang mengabaikan atau menciderai nilai-nilai dasar demokrasi. Berbagai penciptaan skenario dan doktrin politik AS kedepan sesungguhnya adalah upaya kebijakan "Promosi Demokrasi." Pada saat prediksi (rencana) ini akan dilangsungkan maka bukan mustahil kekuatan besar alternatif akan bangkit; di samping keangkuhan AS akan menjadi pelajaran : Demokrasi akan menjadi obsesi yang menakutkan dan menghancurkan bagi siapa pun yang hendak menegakkannya.

Demokrasi Menjelang Pemilu 2009

Memasuki pemilu 2009 popularitas SBY tidak terkejar. Penerapan strategi politik citra yang dimainkan menuai hasil yang gemilang. Hal ini bisa dilihat hasil survei mutakhir berbagai lembaga di dalam negeri yang menempatkan SBY pada posisi pertama. Dukungan hasil survey pencitraan yang diselenggarakan oleh lembaga internasional pun tak kalah hebat, seperti World Public Opinion (Suara Karya online, 22 Juli 2008), menempatkan SBY dalam urutan paling atas pemimpin Asia Pasifik yang paling bisa menyelesaikan persoalan dunia mengungguli PM Jepang Yasuo Fukuda (32 persen), PM Australia Kevin Rudd (31 persen), Presiden Korut Kim Jong-il (28 persen), PM India Manmohan Singh (21 persen), dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (19 persen).
Penerapan politik citra tak bisa dilepaskan dari fenomena pemilu legislatif 2004 yang berhasil menjadikan Golkar dan PDIP partai besar pemenang pemilu, tetapi pada saat sama menjadi antiklimaks: dominasi keduanya berakhir karena kedua partai tersebut gagal mengusung calonnya masing-masing dalam pemilihan presiden. Fenomena tersebut diyakini memberikan arti adanya pergeseran global politik Indonesia dari era massa ke era citra, dari kekuatan jumlah ke kekuatan persepsi, dari sesuatu yang riil ke sesuatu yang imaji.
Sayangnya, tingginya popularitas SBY tidak secara signifikan menimbulkan persepsi yang popular terhadap keberhasilan kepemimpinannya. Hasil survey Reform Institute (November 2008) menghasilkan persentase ketidak puasan masyarakat dalam pemenuhan terhadap sembako yang harganya semakin mahal. 63% masyarakat menganggap pemerintahan SBY gagal dalam pemenuhan kebutuhan atas sembako. Selain itu responden juga menyatakan kecewa terhadap pemenuhan kebutuhan atas kesempatan kerja yang dianggap tidak berhasil (61,4%). Kemudian hasil survey Puskaptis (Desember 2008), "Sebanyak 38,45% responden mengaku pemerintahan SBY-JK tidak akan sanggup menyelesaikan krisis karena masa pemerintahan SBY-JK tinggal beberapa bulan lagi. Namun, 35,46% responden menyatakan yakin SBY-JK dapat menyelesaikan krisis. Sisanya sekitar 26,11% responden menjawab tidak tahu.
Keberhasilan politik citra sangat didominasi oleh peranan mass media. Oleh karenanya patut juga diduga bahwa kemenangan politik citra SBY tak terlepas dari dukungan sistematis jaringan media massa yang dikendalikan secara politis (silent revolution), baik nasional maupun internasional oleh kekuatan keuangan tertentu. SBY juga mempunyai peta kekuatan sebagai incumbent yang memegang kekuasaan, tiap kebijakan yang dinilai positif oleh masyarakat secara otomatis akan menaikkan elektabilitasnya. Beberapa aspek rasional yang dinilai positif mencakup kepuasan atas kinerja pemerintah, kondisi politik, keamanan, penegakan hukum, ekonomi nasional, program pemberantasan korupsi, program sosial meliputi bantuan langsung tunai, dana biaya operasional sekolah, dan penurunan harga bahan bakar minyak.

Strategi politik citra SBY ternyata tidak berjalan sendirian. Kepungan iklan politik di semua kota di Indonesia, menjadi indikasi bahwa setiap pihak yang berkepentingan mencalonkan diri dalam pemilu 2009 menganggap politik citra melalui iklan politik menjadi sarana yang cukup ampuh untuk mengangkat popularitas. Contoh, Wiranto dengan isu kemiskinan, Prabowo dengan isu pertanian dan produk lokal, Sutrisno Bachrir dengan hidup adalah perbuatan. Iklan politik lebih dianggap cara yang mudah dan cepat untuk membentuk opini. Kekuatan uang dalam iklan politik telah mengaburkan track record pihak-pihak yang nyata-nyata mengalami krisis moral, terutama kasus korupsi. Kitapun lebih banyak mengenal calon-calon pemimpin bangsa ini melalui iklan daripada pokok pikiran, gagasan dan track recordnya.

Sementara itu, kekuatan liberal, diantaranya di sektor hulu (upstream) semakin merajalela, melalui kekuatannya pada UU Migas no 22 tahun 2001. (Undang-undang yang draftnya dibuat oleh AS melalui lembaga bantuannya USAID dan Bank Pembangunan Asia semakin memantapkan liberalisasi di sektor hulu) menyebabkan hilangnya kontrol pemerintah terhadap kebutuhan mendasar masyarakat, seperti BBM, elpiji, bahkan pupuk di kalangan petani. Konteks politik ekonomi laissez faire yang diterapkan pemerintah, menjadikan pemerintah memandang permasalahan pertumbuhan ekonomi sebagai permasalahan utama dibandingkan permasalahan kemiskinan, pengangguran, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, dan pemerataan kesejahteraan. Politik ekonomi ini menempatkan aspek material lebih tinggi dibandingkan aspek kemanusiaan, sehingga tidaklah aneh masalah peningkatan produksi dan distribusi BBM dengan cara menarik investor asing lebih diperhatikan pemerintah dibandingkan masalah mahal dan langkanya harga BBM dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Memasuki pemilu 2009, kekuatan elit politik dapat mempengaruhi peta kekuatan liberal dan sebaliknya, kekuatan liberal dapat mempengaruhi peta politik menjelang pemilu (bukan rakyat sebagai pihak yang berdaulat).
Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol dan pemilu 2009 sebenarnya cukup tinggi, terlihat dari putaran Pilkada yang diselenggarakan hingga 2008 lalu, rata-rata golput mencapai 30-40%. Karena bukan menjadi suatu rahasia kalau kekuatan politik menjelang Pemilu 2009 dibangun melalui upaya pemenangan dalam Pilkada yang sarat dengan politik uang, khususnya di tingkat kabupaten dan kota. Berjalannya demokrasi yang sarat dengan krakteristik transaksional selanjutnya ditandai dengan fenomena tak ada adanya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang tetap untuk di usung menjelang pemilu 2009 dalam berbagai konsolidasi parpol sebelum pemilu legislatif. (Gerindra memiliki 8 calon Presiden, PDIP merekomendasikan 2 calon Wakil Presiden, Golkar belum memiliki calon sama sekali). Partisipasi politik partai tidak terlalu peduli dengan ideologi partai. Orientasi parpol menjelang pemilu 2009 lebih kepada kalkulasi cost and analysis benefit koalisi bukan kepada orientasi kepentingan rakyat. Akibatnya proses politik tidak mampu mengangkat aspirasi dan kepentingan rakyat secara baik ditengah interaksi politik yang terjalin melalui iklan-iklan komersial dalam kerangka membangun citra (terutama partai-partai kecil) dan pembangunan aliansi-aliansi taktis elitis.
Tak akan ada partai pemenang pemilu 2009 tanpa koalisi. Partai berbasis nasionalis kerakyatan besar kemungkinan akan berkoalisi dengan partai borjuis. Partai berbasis Islam tradisionalis/modern besar kemungkinan juga akan berkoalisi dengan partai sekuler maupun sosialis. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Semua pergeseran itu agaknya diperuntukkan bagi upaya perolehan suara, bukan pada pengangkatan substansi kepentingan rakyat. Bisa dipastikan pemilu 2009 belum berjalan diatas sebuah kesadaran kepentingan berbangsa. Hampir semua pihak yang berkepentingan dengan kekuasaan dalam pemilu 2009 mencoba “bermain dan memainkan” kepentingan rakyat dalam kerangka membangun citra dan merebut simpati rakyat.

62 hari menjelang pemilu, kesiapan MK untuk mengantisipasi (mengeluarkan aturan) keputusan yang diambilnya, terkait suara terbanyak belum ada. Penetapan hasil pemilu (terutama legislatif) ditetapkan dengan suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut partai. Dalam mekanisme pemilihan, dimana pemilih boleh mencoblos atau memberi tanda contreng pada gambar partai atau caleg, maka jika terjadi hasil pemilihan yang sah terhadap partai, kemanakah suara tersebut akan diberikan? Berlarutnya kondisi ini tanpa kepastian akan menimbulkan titik rawan konflik pada perhitungan suara. Dan jika kondisi ini memang menjadi kepastian, patut diduga disengaja diciptakan dalam kerangka menciptakan cela pemanfaatan kepentingan-kepentingan tertentu untuk bermain. Secara umum, menjelang pemilu 2009 demokrasi yang berjalan di Indonesia dicirikan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Dipenuhi dengan anarkisme dalam penyampaian pendapat, kasus yang masih hangat adalah tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat di tengah aksi massa menuntut pembentukkan Provinsi Tapanuli.

2. Kebebasan yang kebablasan. Semua ingin bebas berekspresi dan berpendapat, namun tidak perduli apakah kebebasan itu itu menggangu dan merusak pihak lain.

3. Pragmatisme politik yang sudah diluar batas kewajaran. Proses politik berjalan dengan dorongan utama money politik. Disamping masyarakat pemilihpun lebih menyukai (sadar) berjalan diatas pragmatisme politik jangka pendek serta primordial pragmatis.
4. Interaksi dan pendidikan politik dijalin melalui dominasi kekuatan kapital dengan iklan politik. Akibatnya sebagian besar elit politik yang akan dipilih dan akan mengurus negara ini dikenal pemilih karena iklan komersial politik bukan karena gagasan nyata, pokok pikiran, perilaku, moralitas dan tanggungjawab sosialnya yang kongkrit.

Membaca Kelemahan Negara Diantara Bom Mega Kuningan dan Konflik Papua

Tujuan Teror?

Kekacauan itu bermula ketika ICP Breakfast Roundtable yang dihadiri oleh sebagian besar WNA petinggi perusahaan minyak dan gas terpaksa “dihentikan” oleh hantaman bom. Kelihatannya peledakan ini memang ditujukan kepada para petinggi perusahaan minyak dan gas tersebut, pada Jumat (17/7/2009) pukul 07.47 WIB. Meluluhlantakkan JW Lounge, Hotel JW Marriott dan sepuluh menit kemudian menghantam Ritz Carlton. Korbanpun berjatuhan, diantaranya GM Anadarko Indonesia Co Gary ford dan Kevin S. Moore yang menjabat sebagai GM Husky Oil North Sumbawa LTD, David Potter dari Freeport Indonesia dan Presdir PT Holcim Timothy Mackay (meninggal dunia). Tidak sedikit pula orang Indonesia yang menjadi korban.

Pasca teror bom, muncul “dua ledakan opini” yang menggetarkan dan membuat ”panas Jakarta”. Pertama, pernyataan SBY yang “membombardir” lawan-lawan politiknya dengan mengaitkan peledakan bom dengan Pilpres; yakni upaya menggagalkan SBY menjabat kembali menjadi Presiden terpilih dan sinyalemen adanya upaya “pendudukan” KPU. Alhasil, wacana kecurangan pilpres mendadak berhenti sesaat setelah disinyalir jutaan daftar pemilih tetap adalah fiktif. Selanjutnya tabulasi Pilpres dilanjutkan dengan data mirip quickcount. Kedua, wacana yang dimunculkan oleh Sekjen Asean: perlunya peningkatan peran Asean dalam menangkal terorisme, mengundang kecurigaan terbukanya peluang wilayah Indonesia dijadikan teritori pengawasan “Asean Joint Army”. Sebagai conditioning negara-negara Asean mengamankan kekuasaan kolektif mereka atas wilayah dan sumber daya RI pasca ditandatanganinya Piagam Asean oleh SBY. Piagam ini bertujuan menjadikan Indonesia bersama negara lainnya di Asia Tenggara membentuk pasar bersama dalam tonggak neoliberalisme. Dimana Kedaulatan pasar dengan logika keuntungan akan berdampak pada tereduksinya rakyat oleh segelintir penguasa dan sekaligus pengusaha (kolonialisme gaya baru). Ingat, di arena AFTA (lapangan neolib) kekuatan suara Republik Indonesia (sebagai pemilik terbesar pasar, tenaga kerja, lahan hutan, laut, agro) hanya 1/6 sama rata dengan ke 6 negara AFTA lain penikmat pasar dan produc base Indonesia. Ini menjelaskan kedaulatan dan penguasaan asing atas pasar dan SDA kita. Sementara itu, di Papua terjadinya konflik bersenjata yang terus berlangsung hingga kini adalah gambaran upaya “melemahkan” kekuatan rakyat sipil yang berada di sekitar areal dan lokasi sasaran investor. Seringkali penanaman modal investasi ke Tanah Papua tanpa dukungan instrumen hukum yang bijak dan menguntungkan rakyat. Pemerintah cenderung mengutamakan kebijakan nasional yang menguntungkan investasi produk kaum neoliberal. Terbukti selama ini kekayaan alam hanya di keruk dan menguntungkan negara lain dan meningggalkan bencana ekologi dan kemanusiaan hingga keterpurukan demokrasi. Salah satunya wilayah konflik Mamberamo, daerah ekspansi baru investasi yang pembukaannya dimulai dengan hal buruk bagi rakyat setempat. Ada banyak rencana di daerah ini; CI (Conservation International) asal Amerika, yang sudah terpasang kuat kakinya di Teluk Cendrawasih dan Raja Ampat lewat project conservasi (CTI). Bahkan mereka sudah membeli areal HPH disitu.
Awal investasi asing adalah penambangan emas dan tembaga yang dilakukan Freeport McMoran Gold & Copper di Papua, 1960 sebagai kebijakan politik yang bertujuan memperoleh dukungan AS dan imperialis global. Dan kini melalui “pemberian hutang kepada Indonesia” investasi itu berlanjut dengan “tekanan” dimana negeri ini mesti mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan mudah diakses oleh modal asing. Sikap politik inilah yang menimbulkan konflik tiada henti antara rakyat Papua yang sadar tergadainya hak-hak politiknya dengan pemerintah Indonesia yang tamak, serakah dan lebih mementingkan modal asing. Karenanya negara-negara Barat, terutama Amerika masih mendukung Papua berada dalam NKRI.
Adanya kebijakan Otonomi Khusus bagi rakyat Papua – sebagai jalan keluar dari konflik yang dikeluarkan pemerintah Indonesia sesungguhnya paket politik neo-liberal titipan IMF dan Bank Dunia. Bagi para pemilik modal asing kebijakan Otonomi Khusus memberikan dampak positif dan jaminan bagi kelangsungan eksploitasi. Bahkan memudahkan cengkeramannya tanpa harus melalui Jakarta. Bukan tidak mungkin, jika Otsus dijalankan dengan tepat berdasarkan keinginan imperialis global, maka Papua akan menjadi primadona eksploitasi modal asing pada masa-masa yang akan datang. Hal ini menyebabkan Eskalasi konflik yang terjadi di Papua terkait dengan kompleksitas masalah-masalah konflik di masa lalu belum terpecahkan. Terutama masalah kesenjangan dan ketidakdilan yang diakibatkan oleh sentralisasi pembangunan yang berlangsung selama ini akibat investasi asing. Termasuk masalah separasi, atau kelompok OPM juga terkait dengan resistensi dan gerakan politik menuntut keadilan sosial ekonomi dengan tuntutan sangat beragam di masyarakat Papua. Dari uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa Indonesia sebagai sub-ordinat kapitalisme global sangat rentan terhadap aksi kekerasan. Apalagi pasangan SBY-Budiono identik dengan Amerika (beberapa media belakangan ini mengungkap rencana dalam sebuah dokumen yang disita di Banjarmasin pada 9 Mei 2009, akan melakukan serangan membajak pesawat dan menabrakkan sebagai serangan bunuh diri ke gedung tertinggi di Jakarta, yang jika terjadi mengandung pesan bahwa Indonesia seperti juga Amerika sebagai wilayah target serangan) Teror bom maupun aksi-aksi teror lokal lainnya, seperti di Papua sebenarnya memiliki “benang motif” diluar spirit/keagamaan. Jika kita mau keluar dari stereotype berpikir yang “tersedia atau disediakan” (oleh kepentingan neolib), terutama indikasi radikalisasi gerakan tertentu Islam yang saat ini tengah “dicarikan” faktanya. Motif economic rivalry pada daya survival neolib yang “membutuhkan” korban sebenarnya dapat menjadi mozaik tersendiri dalam menangani masalah teror yang terjadi. Sudah lama kita tahu, pemerintah Indonesia selalu di desak (tanpa mampu melawan) menerapkan investasi di Papua dan Indonesia. Agenda investasi yang dicanangkan berada dibawah todongan IMF, WTO, ADB dan USAID. Proyek-proyek raksasa yang ber-investasi di sebagian wilayah Papua melegitimasi penciptaan malapetaka konflik dan teror.
Meledaknya bom di Mega Kuningan dan konflik di Papua menjadi rangkaian kelemahan negara dari berbagai ketidakmampuan lainnya, seperti masalah TKI yang berpotensi menjadikan orang Indonesia “budak” di negeri orang; beralihnya sumber daya pembangunan milik hajat hidup rakyat kepada pihak asing. Dalam konteks ini economic rivalry lebih masuk akal daripada motif ideologis atau spirit keagamaan. Bom mega kuningan diakui mejadi persoalan global dalam menghadapi terorisme. Namun juga mesti diingat konflik Papua bukan melulu konflik politik domestik Indonesia. Tanah Papua, dengan sumber daya alam yang melimpah, mengundang begitu banyak pihak melakukan eksploitasi ekonomi sejak tahun 1960-an. Negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia adalah pihak-pihak luar yang dalam lima dekade terakhir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung atas berbagai soal yang muncul di Papua karena kepentingan eksplotasi sumber-sumber ekonomi melalui strategi memberikan hutang kepada Indonesia. Neoliberal akan selalu merayu Indonesia agar hidup dalam jeratan hutang. Regulasi investasi, yaitu membuat peraturan yang membuat investor nyaman berinvestasi seperti intensif pajak, membangun iklim investasi yang kondusif yang berarti keamanan yang terjamin, serikat buruh yang "ramah" serta sistem tenaga kerja yang fleksibel. Dari hal-hal tersebut tidak ada bukti lain yang membuat kita ragu bahwa pemerintahan yang telah berkuasa selama ini adalah pemerintahan yang semata-mata tunduk pada kepentingan kaum modal serta menjalankan agenda neoliberal di Indonesia.
Kebijakan penerapan pemberian utang berkedok bantuan luar negeri berupa proyek pembangunan maupun program kebijakan seringkali digunakan sebagai kontrol ekonomi dan politik negara maju terhadap negara penerima bantuan, hal ini dapat dilihat dari penerapan kebijakan Bank Dunia yang cenderung mendorong deregulasi, pencabutan subsidi ranah publik, perluasan pasar bebas, non proteksi, liberalisasi perbankan,regulasi dan liberalisasi briokrasi dan konstitusi (berbungkus program good governance).
Hutang adalah bukti konkrit adanya hegemoni neoliberalisme yang memberikan dominasi keuntungan negara-negara maju terhadap negara berkembang dan dunia ketiga dalam relasi ekonomi politik internasional. Negara-negara maju menggunakan lembaga Internasional (unholy trinity) seperti dalam bidang investasi pembangunan dunia melalui kedok Bank Dunia (World Bank), bidang keuangan moneter internasional dengan IMF dan bidang perdagangan melalui World Trade Organization (WTO). Hal ini dapat dilihat misalnya dari struktur keanggotaan dalam 184 negara anggota Bank Dunia, 150 negara berkembang di antaranya hanya memiliki kekuatan suara 33 persen. Sementara itu 34 negara maju di dalamnya memiliki kekuatan suara sebesar 67 persen suara hal ini menunjukkan dominasi struktur kepemilikan saham Bank Dunia, maka tidaklah mengherankan kebijakan yang lahir dari Bank Dunia, tidak lebih laksana koorporasi raksasa yang melahirkan kebijakan ”memfasilitasi” kepentingan pemegang saham terbesar. Mulai dari struktur kebijakan hingga penunjukan perusahaan rekanan Bank Dunia yang memiliki afiliasi terhadap negara maju.

DiLemahkannya Peran Negara?

Terlepas dari demokratis atau tidak, peran dasar negara adalah memberikan proteksi, kesejahteraan, hukum dan keadilan bagi warganya. Lemahnya peran negara dalam menjalankan ke-empat fungsinya tadi, menyebabkan perubahan struktural, aparatur dan kebijakan nyaris tidak menyentuh substansinya. Kecuali pergantian kekuasaan tiap lima tahun sekali, itupun peruntukan kekuasaan untuk rakyat (demokrasi) seringkali menjadi bias. Saat ini rasanya kalangan neolib lah yang menentukan bagaimana bentuk proteksi, kesejahteraan, hukum dan keadilan di Indonesia. Sebagai prosedure decision making, demokrasi adalah pilihan yang terbaik bila syarat kulturalnya dipenuhi: sebagai suatu cara baik-buruknya demokrasi ditentukan dari manfaatnya bagi bangsa: membawa kemaslahatan atau tidak? Le Kuan You menegaskan bahwa kemakmuranlah yang diperlukan bangsa singapura bukan demokrasi. Mayoritas bangsa China jika menggunakan demokrasi pasti tidak akan semaju sekarang ini. Dengan mainstream ini, kita saksikan kontestan pemilu di Indonesia (partai/individu/caleg/capres) berspirit opportunist. Demokrasi justru menjauhi harapan rakyat dan mengorbankan bangsa dan negara dengan kian terbukanya intervensi dan interest asing. Mungkin negeri ini memerlukan benevolance dictator ship. sayangnya selama 64 tahun merdeka , Republik Indonesia dipimpin oleh "maling" (diktator maupun demokrat).
Mari kita lihat otoritas DPR,Yudikatif dan Birokrat yang seringkali menjadi komoditas transaksional (diperjual-belikan). Seluruh produk otoritas lembaga tadi akan dikendalikan oleh siapapun yang bisa membelinya (untuk kepentingan si pembeli, baik domestik maupun asing), tergantung kecocokan harga. secara hakikat komoditi yang diperjual belikan adalah kepentingan bangsa (termasuk kepentingan anak cucu kita). Dipemilu 2009 mereka sudah habis-habisan investasi (baik legislatif maupun presiden). Begitu memiliki legitimasi (legitimed) mereka akan segera berusaha mengembalikan investasinya dengan memasarkan otoritasnya kemana-mana. Biasanya akses ke pasar - otoritas sudah dijalin sebelumnya. Kondisi ini telah berlangsung sejak dulu dan pada pemilu 2009 semakin menggila. Rakyatlah yang harus menanggung semua kumulatif ini. sejarah bercerita bahwa mainstream bangsa ini tak pernah berseberangan dengan kekuasaan, meski kekuasaan itu adalah symbol dari penindasan, ketidakadilan atau kejahatan. Driving force dinamika politik yang terjadi bukan perlawanan atas penindasan itu, tetapi perebutan untuk bisa dapat posisi di tatanan yang menindas dengan motif untuk mendapatkan bagian yang sebesarnya-besarnya dari penindasan dan ketidakadilan yang sedang dirancangnya. hasil pemilu 2009 adalah refleksi dari dinamika di atas.Penghisapan Neoliberal terhadap Indonesia

Kapitalisme global menawarkan kombinasi kesejahteraan material dari ekonomi pasar dengan kebebasan politik dan budaya dari demokrasi liberal. Akan tetapi modernitas liberal Barat ini sulit diterapkan banyak masyarakat di berbagai belahan dunia. Bahkan tidak jarang upaya sebuah negara untuk menerapkan asas-asas ekonomi pasar dan demokrasi liberal tersebut menghasilkan benturan dan persoalan baru. Benturan yang terjadi memunculkan fenomena ancaman terorisme sebagai permasalahan yang muncul sebagai hasil dari penyebaran asas-asas kapitalisme dan demokrasi liberal Barat tersebut. Kapitalisme dan demokrasi liberal memunculkan kecenderungan desentralisasi dalam konteks federalisme. Bagi kaum imprialis, desentralisasi dianggap akan mendekatkan sumber informasi lokal agar lebih responsif pada lingkungannya, kompetitif dan inovatif di antara unit-unit lokal tersebut. Pemerintah akan lebih dekat dan terjangkau oleh rakyat dalam konteks pelayanan dan meningkatkan pertanggungjawaban, legitimasi serta kualitas dari demokrasi. Kenyataannya, upaya pendelegasian wewenang dari negara ke pemerintahan lokal seringkali bermakna pada penguatan elit-elit lokal dan jaringan patronase yang memungkinkan mereka memelihara kontrol atas urusan mereka sendiri, terhindar dari evaluasi eksternal. Di di Indonesia, upaya untuk menyebarkan otoritas ke pemerintahan lokal, malah berujung pada peningkatan kesempatan korupsi hingga ke seluruh eselon.

Disisi lain, Imprialisme dan neolib juga melakukan kontrol ekonomi dan politik atas wilayah dan masyarakat lain, baik dengan kekuatan militer maupun dengan cara-cara yang lebih halus. Kebijakan dan praktik negara untuk memperluas kekuasaan dan dominasi, sering kali menggunakan cara-cara ekonomi. Apresiasi terhadap hakekat kapitalisme sebagai sistem dunia dimana negara pusat memanfaatkan kekuasaan atas wilayah pinggiran, saling untuk memperoleh pengaruh dan kontrol, dan bekerjasama untuk menjadi yang terbaik, dengan menggunakan cara apapun.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, karakteristik kapitalisme yang utama adalah mereduksi peran negara atau pemerintah. Sebagai respon dari trend ini IMF, Bank Dunia dan Amerika Serikat, memberikan tekanan pada pengurangan tingkat campur tangan negara dalam urusan ekonomi, dalam bentuk sebuah paket yang diberi label “Washington Consensus” yang diformulasikan atas asumsi “neoliberalisme”. Logika dari consensus ini terletak pada keberadaan sektor negara di banyak negara berkembang di dalam banyak kasus merupakan hambatan bagi tercapainya pertumbuhan dan persoalan ini hanya dapat diselesaikan melalui apa yang mereka sebut sebagai liberalisasi ekonomi. Namun kenyataannya, upaya liberalisasi ekonomi ini tidak membuahkan hasil seperti yang dijanjikan. Ketiadaan sebuah kerangka kerja institusional dari dimensi negara atau pemerintah di banyak negara, malah menghasilkan kehancuran setelah liberalisasi dilakukan. Hegemoni kebijakan ekonomi politik Negara maju melalui lembaga Internasional, cenderung memiskinkan rakyat negara dunia ketiga. Beban pembayaran Utang dan dampak liberalisasi dan pencabutan subsidi ranah public sector rakyat bawah seperti liberalisasi pendidikan, privatisasi), jasa (kesehatan dan pendidikan) dan liberalisasi pertanian menyebabkan pemiskinan terjadi semakin progresif. Pemiskinan ini didorong terhadap ketergantungan dan hegemoni Negara-negara maju yang dikondisikan dalam struktur sistem kebijakan Negara dunia ketiga yang tidak lagi pro terhadap rakyat, dan peran Negara sekedar fasilitator tidak lagi sebagai regulator yang proteksionis (mensejahterakan).Kebijakan Moneter internasional yang dilakukan oleh IMF pada krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 90’an, terutama di Indonesia membuktikan peran-peran negara maju (Amerika, Uni Eropa dan Jepang sebagai pemegang saham mayoritas IMF) memberikan resep ”mujarab” yang mematikan: Pertama, pengurangan secara radikal pengeluaran pemerintah atas biaya kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (pemotongan subsidi). Kedua, privatisasi dan deregulasi perusahaan-perusahaan negara. Ketiga, devaluasi mata uang. Keempat, liberalisasi impor dan menghaspuskan hambatan-hambatan yang membatasi investasi asing. Kelima, memangkas upah dan menghapuskan atau melemahkan mekanisme-mekanisme perlindungan tenaga kerja. Selama lebih dari satu generasi, kecenderungan politik dunia adalah melemahkan peranan negara. Kecenderungan ini berasal dari alasan-alasan ekonomi dan normatif. Keberadaan negara-negara yang terlalu kuat dan agresif telah menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan disfungsi dan inefisiensi. Karenanya, muncul kecenderungan untuk mengurangi ukuran dan sektor negara dan mengalihkannya kepada pasar atau kepada fungsi civil society. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi global telah mengikis otonomi dari negara-bangsa seiring dengan meningkatnya mobilitas informasi, modal, dan tenaga kerja. Akibatnya, muncul gagasan untuk mengurangi ruang lingkup negara-bangsa. Dalam konteks ini, Indonesia dalam posisi yang lemah di dalam peta ekonomi politik Internasional yang didominasi oleh interest conflict (state actor), interest capital and profit Multi National Corperations (MNC’s) hingga non state actor lainnya (NGO’s dan interest players). Relasi ekonomi politik internasional berjalan dalam bentuk kebijakan penerapan pemberian utang berkedok bantuan luar negeri berupa proyek pembangunan maupun program kebijakan yang seringkali digunakan sebagai kontrol ekonomi dan politik negara maju terhadap negara penerima bantuan terhadap upaya mendorong deregulasi, pencabutan subsidi ranah publik, perluasan pasar bebas, non proteksi, liberalisasi perbankan,regulasi dan liberalisasi briokrasi dan konstitusi (berbungkus program good governance).
Kini, setelah puluhan tahun mengenyam keberhasilan dalam mengusung dan memaksakan agenda-agenda neoliberalisme ke berbagai penjuru dunia hingga menjadikan neoliberalisme bermetaforsa menjadi neo-imperialisme, rupanya kedigdayaan sistim neoliberalisme akhirnya roboh juga. Akhir-akhir ini dunia menyaksikan proses robohnya neoliberalisme yang nampaknya hampir tak terelakkan lagi dengan adanya krisis keuangan di AS beberapa waktu lalu. Krisis keuangan kali ini merupakan krisis terburuk dalam sejarah perekonomian neoliberalisme yang dianut dan dipuja oleh negeri paling adidaya di kolong jagat ini. Krisis finansial yang meluluhlantakkan Wall Street bermula pada Juli 2007, ketika pasar saham dunia bergejolak akibat kredit macet secara massal di sektor perumahan (subprime mortgage). Beberapa bulan kemudian, sejumlah raksasa finansial AS, antara lain, Bear Stearns, Northern Rock, Fannie Mae, Freddie Mac, dan terakhir bank investasi terbesar keempat di AS Lehman Brothers, bertumbangan satu-persatu. Beberapa perusahaan keuangan lainnya, Seperti Merrill Lynch, AIG, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley, juga terancam bangkrut dalam waktu dekat ini.Ironisnya, tindakan penyelamatan yang ditempuh dengan menggelontorkan dana talangan US $700 miliar atau sekitar Rp 6.440 triliun, justru mengingkari prinsip dasar sistim neoliberalisme, yang berkaitan dengan peniadaan intervensi pemerintah. Demikian juga dengan kebijakan untuk mensuspen aktivitas pasar modal yang dilakukan hampir secara serentak oleh pemerintah di berbagai negara pemuja neoliberalisme, termasuk di pasar modal Indonesia, semakin mengindikasikan bahwa sesungguhnya sistim neoliberalisme sangat rapuh.Robohnya sistim neoliberalisme, yang justru bermula dari lumbungnya di AS, seharusnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi para pemimpin pemimpin di Indonesia. Hendaknya para pengambil kebijakan agar tidak terlalu membabi-buta dalam penerapan sistim neoliberalisme dalam merumuskan kebijakan ekonomi di Indonesia. Barangkali, robohnya neoliberalisme merupakan momentum yang tepat bagi pemimpin Indonesia untuk lebih menekankan pada penerapan sistim ekonomi kerakyatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan martabat rakyat.Sementara itu, masalah utama yang dihadapi oleh negara-negara miskin dalam pembangunan ekonomi adalah ketidakberhasilan pembangunan institusi. Ketidakberhasilan ini sejalan dengan tekanan yang diberikan Amerika agar tidak membangun negara yang terlalu luas dan besar peranannya, tetapi membangun negara yang kuat dan efektif dalam ruang lingkup yang terbatas dari fungsi-fungsi negara yang dibutuhkan. Upaya untuk memperkuat negara-negara ini melalui beragam bentuk nation-building merupakan tugas yang sangat vital bagi keamanan internasional. Padahal sudah saatnya, kita mencoba menghadang kerakusan neoliberal-kapitalis dengan penguatan kapasitas Negara (state building). Kebangkitan dan pembebasan dari Rezim internasional dan subordinasi Imprialisme mesti dibendung dengan nasionalisme demokratik popular, bukan sekedar nasionalisme elitis yang sarat dengan basa basi dan jargon. Upaya pembelajaran untuk membangun negara secara lebih baik sangat penting bagi masa depan tatanan dunia. Di sisi lain, ketidakpastian akan entitas atau unit politik apakah yang akan menggantikan kekuatan kedaulatan negara-bangsa di dunia kontemporer, membuat kita tidak punya pilihan kecuali untuk kembali kepada kedaulatan negara-bangsa dan mencoba untuk memahami konsep ini sekali lagi, serta mempelajari cara mengenai bagaimana untuk memperkuatnya, namun bukan dalam pengertian bukan hanya semata kekuatan militer.

Oleh : Ikhsan Ahmad.

Penulis : Staf Pengajar Tetap pada Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA BANTEN

MAHZAB ILMU KOMUNIKASI

Sebagaimana penuturan Prof. Nasikun, llmu sosial dapat memiliki tiga fungsi : decision making, social critics, dan advocacy. Dalam kontek ini menjadi penting.(ttg ilmu sosial..)

Kajian kritis

Dalam kontek kajian komunikasi hal ini dapat dijumpai melalui karya-karya Stanley Deetz, Noam Chomsky, Cherney, Ben Bagdikian, Herbert Schiller.

Kajian Interpretatif

interpretative melalui Cliffort Geertz, James Lull, Pacanoski, dan sebagainya.

ANTARA TRADISI BARAT, ASIA, DAN AKAR KAJIAN KOMUNIKASI DI INDONESIA

Terdapat tiga hal penting yang penting untuk dipahami kaitannya dengan mempelajari teori komunikasi. Yakni antara tradisi Amerika, Eropa, dan Asia.

Tradisi Amerika

Tradisi Amerika sangat menonjol perspektif yang positivistic1 semenjak decade 40-an. Demikian pula pengaruh filsafat pragmatis yang dominant di Amerika sehingga dalam perkembangan teori kurang begitu filosofis.

Dominannya pendekatan positivistic empiris sangat menonjol sejak decade 40-an. Terutama pada masa propaganda yang mempercayai dampak kuat media.2 Kemudian berkembang terus sampai masa sesudah perang. Ini pula yang kemudian membentuk arus besar dalam kajian komunikasi Amerika dimana penelitian yang bercorak administrative lebih menonjol.

Padahal akar kajian komunikasi di Amerika sesungguhnya pada awalnya cukup humanistic, Sebagaimana tampak melalui kelompok Chicago dengan figure seperti John Dewey, George H. Mead. dan Robert E. Park. Dewey dan Park memberi perhatian terhadap arti penting suratkabar bagi kehidupan komunitas. Sedangkan interaksi simbolik Mead menjadi penting dalam kontek komunikasi antar personal.

Dewasa ini tradisi kritis juga tampak di Amerika seperti kemunculan C.W. Mills pada decade 50-an yang dipandang sebagai peletak dasar-dasar kajian kritis. Mills berinteraksi langsung dengan kalangan pelarian Frankurt School yang ada di New York. Dewasa ini semangatnya dapat dilihat dalam pemikiran figure seperti Herbert Schiller, Ben Bagdikian, Noam Chomsky, atau Robert Chesney. Orientasi aliran kritis adalah emansipatoris.

Tradisi Eropa

Ilmu Sosial di Eropa lebih filosofis atau rasionalis. Bisa juga dikatakan cenderung idealis. Maka teori-teori yang normative terasa dari tradisi Eropa. Terutama pula yang berangkat dari pemikiran kritis karena pemikiran Marxist mengakar kuat. Maka kecenderungan teori komunikasi dari tradisi Eropa dapat dijumpai melalui tradisi kritis.

Namun berkat interaksi keilmuan, di Eropa juga dikembangkan pendekatan empiris, sebagaimana di Amerika pendekatan kritis juga dianut. Kajian empiris memberi perhatian terhadap individu sedangkan kajian kritis memberi perhatian terhadap aspek yang lebih luas yakni relasi antar institusi social pada tingkat makro. Misalnya pada fenomena Josepht Klepper tentang The Effect of Communications.

Secara umum, tradisi Amerika dan Eropa dapat disebut sebagai tradisi Barat. Maka ciri teori komunikasi dari Barat adalah menempatkan individu dalam posisi yang penting. Paham liberalisme dapat dimengerti dalam kontek ini. Karenanya penelitian-penelitian yang menempatkan individu sebagai titik pusat menjadi penting. Dalam tradisi psikologi social dapat dimengerti dalam kontek ini. Penelitian yang dilakukan Hovland dan Lazarfeld berada dalam kontek ini. Tentunya disini pandangan Barat dalam kontek empirisme.

Ciri lain, teori Barat bersifat parsial. Melihat dari sudut tertentu. Sehingga reduksi tampak jelas. Pandangan yang terbagi kedalam sejumlah perspektif berada dalam kontek ini. Misalkan tradisi kritis mereduksi realitas kedalam struktur yang kuat dan yang lemah. Pemikiran semacam ini pula yang kemudian menjadi sasaran kritik kalangan cultural studies yang dipengaruhi neo Marxist dimana lebih melihat kompleksitas realitas social.

Tradisi Timur

Dalam tradisi timur, manusia tidak dipusatkan sebagai individu namun secara kolektif.

Kemudian juga bersifat keseluruhan daripada parsial. Misalnya dalam melihat tentang manusia juga dihubungkan dengan alam. Hubungan yang harmonis manusia dengan alam merupakan satu kesatuan dalam melihat realitas.

Demikian pula, di Timur masalah emosi menjadi penting. Karenanya di Timur pesan non verbal menjadi penting.4 Untuk memahami suatu makna orang harus menggunakan perasaan yang mendalam. Bandingkan dengan di Barat yang rasional, orang cenderung untuk secara verbal (to the point).

Majid Tehranian—pemikir komunikasi Amerika keturunan Iran--mengusulkan paradigma komunitarian, yang mengedepankan tampilnya kalangan pemimpin komunitas, yang tampaknya cukup signfikan di timur.

Maka penting pula untuk memahami pembagian perspektif berdasarkan benua ini. Sehingga perspektif kita menjadi lebih utuh. Misalnya perspektif Timur disebut seperti dari tradisi Budha, Hindu, Tao, Islam. (tradisi as, eropa, asia..)

Tradisi Postmodernisme

Lawrence Neumann menyebut paradigma postmodernisme sebagai paradigma yang sedang berproses setelah tiga paradigma yang telah ada yakni positivistik, interpretatif, dan kritis (lihat Neumann, ). Maka relevan pula untuk memasukan paradigma postmodernisme ini dalam kontek kajian ilmu komunikasi, yang tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan ilmu sosial yang telah ada.

Sebenarnya hal ini terakomodir dalam beberapa konsep yang dikenalkan melalui beberapa figur seperti John Fiske, Roland Barthes, Michael Foucault, Raymond William, Stuart Hall, Jean Boudrillard, dan sebagainya. Mereka yang dikenal menyuarakan tentang cultural studies atau apa yang disebut juga kalangan post strukturalis. (lihat littlejohn, 2002). Lebih jauh, figur-figur seperti Jean Boudrillard juga tepat untuk dimasukan disini. 5

Asumsi pokok dalam postmodernisme adalah paham relativisme. Realitas merupakan sesuatu yang sedang berproses. Senantiasa terjadi proses pengkonstruksian terhadap realitas. Terdapat banyak kalangan yang terlibat dalam proses pengkonstruksian realitas ini.6 (--karenanya pandangan strukturalisme, cara berfikir oposisi biner, sesuatu yang ditolak oleh postmodernisme. 25/3/5)7

Tema-tema seperti masyarakat konsumen, hiper realitas, budaya popular, menjadi penting. Media memegang peranan penting dalam proses ini. Postmodernisme memberi perhatian terhadap fenomena wacana. Dalam kontek ini fenomena symbol menjadi penting. Hal ini berkaitan dengan tema masyarakat informasi, fenomena yang menjadi latar belakang kemunculan postmodernisme. Terdapat banyak fenomena symbol dalam masa masyarakat informasi.(tradisi posmo)

Terdapat sejumlah pengertian tentang pengelompokkan (perspektif teori komunikasi seperti covering law perspective, rule theory, dan pendekatan sistem , dan lainnya). Namun sekali lagi, secara umum dapat dikelompokkan ke dalam perspektif atau paradigma yang telah ada.

Pendekatan Covering Law menekankan pada hubungan sebab akibat dalam komunikasi. Rule governed menekankan pengaruh kebebasan dan pilihan individual. Sedangkan sistem menekankan interaksi, interdependensi, dan koordinasi dari tingkah laku diantara individu.

Robert Craig mencoba menyebut adanya tujuh tradisi dalam kajian komunikasi (2002) yaitu semiotik, retorika, kritis, psikologi sosial, cybernetik, sosial budaya, dan fenomenologi.

Tradisi Semiotik

Tradisi semiotik berakar dari bahasa. Dalam buku Tankard disebut beberapa istilah seperti semantic differential, hakekat simbol. Sedangkan dalam Littlejohn disebut secara lebih rinci landasan teoritis dari kalangan ahli linguistik seperti Ferdinand de Saussure, Charles S. Pearce, Noam Chomsky, Benjamin Whorlf, Roland Barthes, dan lainnya. Mencoba membahas tentang hakekat simbol. Selanjutnya dalam John Fiske (1980) tentang pembahasan seputar ini dengan mengurainkan aspek seperti icon, index, dan symbol menurut Pearce.

Jadi terdapat banyak teori komunikasi yang berangkat dari pembahasan seputar simbol. Keberadaan simbol menjadi penting dalam menjelaskan fenomena komunikasi. Simbol merupakan produk budaya suatu masyarakat untuk mengungkapkan ide-ide, makna, dan nilai-nilai yang ada pada diri mereka. Mengkaji aspek ini merupakan aspek yang penting dalam memahami komunikasi.

Dalam kajian kontemporer, dalam hal ini pendekatan postmodernisme-poststrukturalisme, yang banyak menekankan pada kajian seputar simbol atau yang populer tentang analisis wacana. Maka pendekatan dari sudut ini menjadi penting. Jadi teori-teori komunikasi yang berangkat dari tradisi semiotik menjadi bagian yang penting untuk menjadi perhatian. Analisis-analisis tentang iklan, novel, sinetron, film, lirik lagu, video klip, fotografi, dan semacamnya menjadi penting. Terlebih dengan perkembangan industri media di Indonesia dewasa ini, kajian seputar ini menjadi penting untuk mendapat perhatian. Contoh kasus : bila anda seorang cameraman televise, suatu ketika anda meliput di Aceh. Maka dengan pemahaman tradisi semiotic yang memadai, akan membantu untuk menbari icon yang tepat. Misalnya ambil gambar masjid Baiturahman. Bila anda meliputi di kota Surabaya untuk stasiun televise asing, maka anda akan menyertakan menampilkan icon Tugu Pahlawan atau patung Sura lan Baya. Kasus yang kurang lebih sama juga akan terjadi ketika anda bekerja sebagai bagian kreatif sebuah biro iklan. Pemahaman yang memadai tentang dunia symbol akan banyak membantu dalam merancang desain iklan yang tepat. Fenomena iklan-iklan sampoerna bias dijelaskan dalam kontek ini. Kepekaan perancang dengan situasi social di Indonesia salah satu yang dpat disebutkan.

Maka pemahaman akan tradisi semiotic akan penting. Misalkan bagi yang berminat di iklan, dengan wawasan semiotic akan dapat merancang konsep yang tepat. Kehandalan dalam memilih symbol dan semacamnya. Mereka akan mampu menyampaikan makna secara memadai.

Tradisi Psikologi Sosial

Berangkat dari Ilmu Psikologi terutama aliran behavioral. Dalam kajian komunikasi akan sering dijumpai dalam kajian tentang dampak media. Memberi perhatian pada perubahan sikap (attitude). Hubungan media dan khalayak tentunya akan menyebabkan terjadinya perubahan sikap. Media menjadi stimulus dari luar diri khalayak yang akan menyebabkan terjadinya perubahan sikap.

Kasus lain seperti komunikasi persuasi. Pengaruh komunikator terhadap perubahan sikap khalayak. Penelitian eksperimen yang dilakukan Carl Hovland menggunakan pendekatan eksperimen. Sementara Paul F. Lazarfeld lebih menggunakan penelitian survei.

Tradisi psikologi sosial juga dapat dijumpai dalam penelitian komunikasi antar budaya seperti yang menggunakan teori yang dikembangkan Guddykunt tentang Management Reduction Uncertainty Theory.

Psikologi Sosial memberi perhatian akan pentingnya interaksi yang mempengaruhi proses mental dalam diri individu. Aktivitas komunikasi merupakan salah satu fenomena psikologi sosial seperti pengaruh media massa, propaganda, atau komunikasi antar personal lain.

Teori-teori yang berangkat dari psikologi sosial ini juga dapat menjelaskan tentang proses-proses yang berlangsung dalam diri manusia dalam proses komunikasi yakni ketika proses membuat pesan dan proses memahami pesan. Manusia dalam proses menghasilkan pesan melibatkan proses yang berlangsung secara internal dalam diri manusia seperti proses berfikir, pembuatan keputusan, sampai dengan proses menggunakan simbol. Demikian pula dalam proses memahami pesan yang diterima, manusia juga menggunakan proses psikologis seperti berfikir, memahami, menggunakan ingatan jangka pendek dan panjang hingga membuat suatu pemaknaan.

Pendekatan psikologi sosial memberi perhatian terhadap aspek diri manusia. Proses komunikasi manusia merupakan proses yang berlangsung dalam diri manusia.

Selanjutnya dalam komunikasi antar personal juga akan banyak dijelaskan dengan teori-teori dari tradisi psikologi sosial. Misalkan manusia dalam membuat suatu pesan dilatari faktor-faktor tertentu seperti motif, kebutuhan, dan sebagainya. Demikian pula terlibatnya faktor prasangka, stereotype, skema pemikiran, dan sebagainya yang mempengaruhi dalam komunikasi antar personal. Beberapa konsep penting disini dapat disebutkan seperti judgement, prejudice, anxienty, dan sebagainya. (lihat dalam littlejohn).

Beberapa tokoh penting dalam tradisi ini adalah Carl Hovland, Paul F. Lazarfeld, Muzerief, dan sebagainya.

Tradisi Retorika

Tradisi retorika memberi perhatian pada aspek proses pembuatan pesan atau simbol. Prinsip utama disini adalah bagaimana menggunakan simbol yang tepat dalam menyampaikan maksud. Dalam media berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan keredaksian, merancang program acara, penentuan grafis. Prinsip bahwa pesan yang tepat akan dapat mencapai maksud komunikator. Kemampuan dalam merancang pesan yang memadai menjadi perhatian yang penting dalam kajian komunikasi.

Beberapa figur yang dapat disebutkan disini adalah kajian-kajian Gaye Tuchman tentang proses penentuan kebijakan dalam ruang pemberitaan, McBreed yang mengkaji tentang proses-proses yang berlangsung dalam organisasi media. Demikian pula teori-teori yang berkaitan dengan proses pembuatan pesan (message production) (lihat lagi littlejohn).

Tradisi retorika dapat menjelaskan baik dalam kontek komunikasi antar personal maupun komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana proses-proses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi dapat berlangsung secara efektif.

Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan sebagainya yang hidup dalam suatu organisasi media atau dalam diri individu merupakan faktor yang menentukan dalam proses pembuatan pesan. Bahwa pesan dihasilkan melalui proses yang melibatkan nilai-nilai, kepentingan, pandangan hidup tertentu dari manusia yang menghasilkan pesan.

Pemahaman yang memadai dari tradisi retorika ini akan membantu dalam memahami bagaimana merancang suatu pesan yang efektif.9 Keberhasilan suatu konsep iklan, program televisi, kampanye tokoh politik, tentunya tidak dapat dilepaskan dari faktor semacam ini.

Keberhasilan SBY dipercaya tidak terlepas dari kemampuan merancang citra yang menarik. Iklan Sampoerna tentunya dilatari kemampuan melakukan perencanaan pesan yang memadai. Demikian pula pada sejumlah stasiun televisi yang masing-masing memiliki keunggulan berangkat dari proses perencanaan program yang memadai. Kita dapat membedakan karakteri RCTI, Metro TV, Trans TV, SCTV, TPI, AN TV, Indosiar, TV7, Lativi, dan Global TV karena masing-masing memiliki karakter. Maka tradisi retorika sesungguhnya berada dalam kontek ini.

Fenomena ‘pembajakan’ para programer televisi di Indonesia dapat dipahami dalam kontek ini. Mereka dibutuhkan sehingga pindah-pindah kerja antar stasiun televisi seakan menjadi sesuatu yang muda. Fenomena Alex Kumara dari RCTI, Trans TV, dan sekarang di TVRI. Figur ini dipandang sukses dalam mendisain tayangan suatu stasiun televisi. Demikian pula Riza Primbadi atau Sumitha Tobing yang beberapa kali pindah stasiun. Kerja kreatif yang melatarinya menyebabkan mahalnya tenaga yang berkiprah dibidang ini. Figur lain yang bisa disebut Uni Lubis yang sukses dengan Panji Masyarakat dan sekarang di TV7. Demikian pula Noorca Massardi yang merintis Jakarta Jakarta yang dulu pernah di Tempo dan sekarang di Forum. Dja’far Assegraf, Toety Adhitama, merupakan nama lain yang bisa disebut yang sekarang berkumpul di Media Group.

Tradisi Sosial Budaya

Tradisi sosial budaya berangkat dari kajian antropologi. Bahwa komunikasi berlangsung dalam kontek budaya tertentu karenanya komunikasi dipengaruhi dan mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat. Konsep kebudayaan yang dirumuskan Clifford Geertz tentu saja menjadi penting. Media massa, atau individu ketika melakukan aktivitas komunikasi ikut ditentukan faktor-faktor situasional tertentu.

Beberapa figur penting disini adalah James Lull, Geertz, Erving Goffman, George H. Mead, dan sebagainya.

Pendekatan interaksi simbolik, konstruktivisme merupakan hal yang penting disini. Interaksi simbolik menekankan pada bagaimana manusia aktif melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi. Hal ini dapat membantu menjelaskan dalam proses komunikasi antar personal. Sedangkan konstruktivisme menekankan pada proses pembentukan realitas secara simbolik. Maka komunikasi baik bermedia maupun antar pribadi sesungguhnya dapat dilihat sebagai proses pembentukan realitas.

Tradisi Fenomenologi

Inti tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak dalam berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yang berlangsung dalam diri khalayak. Beberapa figur penting disini adalah James Lull, Ien Ang, dan sebagainya.

Kajian tentang proses resepti (reception studies) yang berlangsung dalam diri khalayak menjadi penting. Misalnya bagaimana para penonton televise ketika mengalami sebuah tayangan. Maka proses resepsi sangat ditentukan oleh factor nilai-nilai yang hidup dalam diri khalayak tersebut. Pendekatan etnografi komunikasi menjadi penting diterapkan dalam tradisi ini.


Tradisi Cybernetik

Tradisi ini berkaitan dengan proses pembuatan keputusan. Tradisi cybernetik berangkat dari teori sistim yang memandang terdapatnya suatu hubungan yang saling menggantungkan dalam unsur atau komponen yang ada dalam sistim. Hal lain yang penting adalah sistim dipahami sebagai suatu sistim yang bersifat terbuka sehingga perkembangan dan dinamika yang terjadi dilingkungan akan diproses didalam internal sistim.

Teori informasi berada dalam kontek ini. Demikian pula konsep feedback menjadi penting dalam hal ini. Perkembangannya dapat pula disebut teori-teori yang dikembangkan dari teori informasi seperti yang dilakukan Charles Berger untuk komunikasi antar personal dan Guddykunt untuk komunikasi antar budaya.

Contoh lain adalah proses pembuatan kebijakan publik oleh lembaga pemerintahan dimana tradisi cybernetic dapat menjelaskan. Terdapat proses sosialisasi untuk mendapatkan feedback dari publik sebelum suatu kebijakan ditetapkan secara permanen.

Tentu saja teori-teori proses pembuatan keputusan didalam diri individu juga dapat dijelaskan dari tradisi cybernetik. Tidak bisa dipungkiri tradisi cybernetic yang berangkat dari Norbert Wiener ini dan dikombinasikan dengan Shannon – Wiever menjadi penting sebagai salah satu tradisi dalam kajian komunikasi. Demikian pula proses resepti terhadap pesan yang berlangsung dalam diri khalayak. Pada hakekatnya khalayak merupakan sebuah sistim, maka sebuah pesan yang diterima dari luar merupakan stimulus yang kemudian diolah lagi dengan informasi lain yang sudah ada dalam diri seseorang.

Beberapa figur penting disini adalah Wiener, Shannon-Weaver, Charles Berger, Guddykunts, Karl Deutch, dan sebagainya.

Tradisi Kritis

Tradisi ini berangkat dari asumi teori-teori kritis yang memperhatikan terdapatnya kesenjangan di dalam masyarakat. Proses komunikasi dilihat dari sudut kritis. Bahwa komunikasi disatu sisi telah ditandai dengan proses dominasi oleh kelompok yang kuat atas kelompok masyarakat yang lemah. Pada sisi lain, aktifitas komunikasi mestinya menjadi proses artikulasi bagi kepentingan kelompok masyarakat yang lemah.

Tradisi ini dapat menjelaskan baik lingkup komunikasi antar personal maupun komunikasi bermedia. Beberapa figur penting dapat disebut seperti Noam Chomsky, Herbert Schiller, Ben Bagdikian, C. Wright Mills, dan sebagainya yang pemikiran mereka menyoroti tentang media sementara Stanley Deetz diantaranya pada komunikasi organisasi. Demikian pula Jurgen Habermas untuk tema-tema kajian komunikasi social.

Beberapa buku seperti political economy of media oleh Vincent Mosco dan sebagainya.

Tradisi ini tampak kental dengan pembelaan terhadap kalangan yang lemah. Komunikasi diharapkan berperan dalam proses transformasi masyarakat yang lemah.

Tampaklah bahwa ketujuh tradisi diatas cukup mewakili tentang fenomena komunikasi. Melalui ketujuh tradisi ini dapat dijelaskan mengenai suatu fenomena komunikasi dengan masing-masing penekanannya. Psikologi social akan mampu menjelaskan tentang komunikator atau komunikan sebagai individu dimana aktivitas komunikasi melibatkan dimensi psikologis seperti berfikir, sikap, dan sebagainya. Dalam kontek komunikasi massa, pendekatan psikologi social akan mampu menjelaskan tentang dampak media (media effect) yang terjadi pada diri khalayak. Dalam kontek komunikasi antar personal atau kelompok, pendekatan psikologi social akan menjelaskan tentang proses pembuatan pesan dalam diri individu, yang melibatkan dimensi psikologis seperti motiv, kepentingan, dan sebagainya.

Sedangkan semiotic akan dapat menjelaskan aspek pesan dari komunikasi. Atau yang lebih popular isi (content) dari komunikasi tersebut. Baik yang sifatnya verbal seperti bahasa maupun non verbal seperti gesture, distance, dan sebagainya. Demikian pula lambing visual. Dengan menggunakan perspektif dari sejumlah tokoh linguistic akan dapat dijelaskan makna dari suatu pesan. Salah satu aspek penting disini adalah berkaitan dengan hubungan antara pesan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Bahwa menurut salah satu pandangan, pesan itu tidak memiliki kaitan langsung dengan objek. Pesan semata-mata arbiter, kesepakatan suatu masyarakat.

Pada perspektif lain, memandang bahwa pesan dengan realitas tidak dapat dipisahkan. Justeru pesan ikut mengkonstruksi realitas. Inilah pandangan dari kalangan post-struktualis yang banyak digunakan dalam perspektif postmodernisme.

Sementara tradisi social budaya akan dapat menjelaskan bahwa aktivitas komunikasi berkaitan dengan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat. Dalam kontek komunikasi antar personal, maka individu akan ditentukan oleh nilai yang ada dan sekaligus juga akan ikut mengkonstruksi nilai berdasarkan pemaknaan yang dibentuknya. Dalam kontek komunikasi massa, maka isi media juga ikut ditentukan oleh nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat. Misalkan, Kompas yang semula Koran milik Partai Katolik kemudian merubah diri menjadi Koran umum independent, dengan isi yang tidak lagi mewakili kepentingan kalangan katolik.

Selanjutnya dalam pendekatan social budaya juga mempercayai media memiliki kemampuan ikut mengkonstruksi budaya. Dalam kontek ini pandangan tentang efek budaya media menjadi relevan. Kajian dengan pendekatan cultural studies menjadi penting. Media merupakan salah satu komponen dari kebudayaan.

Tradisi cybernetic mencoba menjelaskan tentang komunikasi sebagai sebuah sistim control. Tradisi ini dapat menjelaskan tentang sistim pers, sistim pengolahan dan pembuatan informasi yang berlangsung dalam diri manusia, kebijakan komunikasi, dan sebagainya.

Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang fenomena komunikasi sehari-hari seperti penonton televise, pembaca suratkabar, pendengar radio, atau komunikasi pada komunitas tertentu seperti keagamaan, gank remaja, dan sebagainya. Sedangkan tradisi kritis mencoba untuk melihat adanya kesenjangan dalam proses komunikasi. Figur seperti Herbert Schiller, Noam Chomsky, Ben Bagdikian, Habermas, Stanley Deetz, dan sebagainya menjadi penting disini. (teori kom)

Yang pokok adalah pengelompokkan teori komunikasi haruslah dikembalikan pada paradigma yang ada seperti positivistic (covering law perspective ; mekanistik), interpretative (rule theory; humanistik), kritis, dan postmodernism. (teori1)



Kajian Budaya (Cultural Studies)

Kajian Budaya identik dengan tradisi Eropa terutama Inggeris melalui Universitas Birmingham. Figur-figur utamanya seperti Richart Hoggard, Raymond William dan generasi penerusnya seperti Stuart Hall. Sesungguhnya Kajian Budaya juga berkembang di Amerika seperti tampak melalui figur Douglass Kellner dan James Carey. Menurut Gaye Tuchman, cultural studies di Amerika lebih dikenal sebagai sosiologi budaya (sociology of culture) dengan merujuk pada karya-karya Max Weber. 10 Everrett M. Rogers menyebut bahwa akar tradisi kajian budaya di Amerika berakar pada tradisi Chicago pada awal abad ke-20.

Beberapa figur yang dikelompokkan pula dalam kelompok ini adalah Roland Barthes, Micahel Foucault, Jean Boudrilard.

Beberapa konsep pokok dalam kajian budaya adalah konstruktivis, post strukturalis, postmodernis, neo-Marxist, theathre of struggle, site of struggle, articulation, identity. Berikut penjelasannya.

Post Strukturalis

yakni pandangan yang memandang realitas merupakan sesuatu yang komplek dan selalu dalam proses sedang menjadi. Realitas tidak sebagaimana pandangan kalangan strukturalis yang melihat sudah bersifat teratur, tertata, dan terstruktur. Realitas merupakan suatu proses pembentukan yang berlangsung terus menerus dengan melibatkan banyak kalangan dengan identitas masing-masing. Yang menonjol adalah terdapatnya proses artikulasi dari masing-masing kalangan.

Konstruktivis

Yakni pandangan bahwa realitas merupakan suatu bentukan secara simbolik melalui interaksi sosial. Keberadaan simbol atau bahasa menjadi penting dalam membentuk realitas. Berbagai kelompok dengan identitas, pemaknaan, pengalamaan, kepentingan, dan sebagainya mencoba mengungkapkan diri dan selanjutnya akan memberi sumbangan dalam membentuk realitas secara simbolik. Interaksi sosial menjadi penting dalam proses ini. Realitas secara simbolik merupakan hasil bersama secara sosial.

Articulation

Yakni proses pengungkapkan ideologi, nilai, kepentingan, dan sebagainya oleh suatu kelompok identitas. Dalam kondisi semacam ini, kelompok masyarakat bersifat aktif dalam menyampaikan aspirasi mereka. Sebuah kondisi yang ideal dimana masyarakat bersifat hidup karena mampu mengartikulasikan kepentingan mereka. Hal ini tepat benar dengan asumsi bahwa manusia itu bersifat aktif melakukan pemaknaan.

Identity

Karena dalam masyarakat terdapat berbagai macam kalangan dan manusia atau kelompok manusia merupakan insan yang aktif melakukan pemaknaan berdasarkan kepentingan dan pengalaman mereka, maka mereka masing-masing memiliki identitas yang unik. Maka realitas sosial sesungguhnya terdapat sejumlah identitas yang berbeda. Keberadaan identitas ini hidup ditengah masyarakat.

Site of struggle

sesungguhnya dalam realitas sosial berlangsung proses pertarungan kepentingan, ideologi, dan sebagainya. Masing-masing kalangan sedang mencoba untuk membangun hegemoni. Dalam kontek seperti ini berlangsung proses negosiasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam pertarungan. Bahwa kondisi yang menunjukkan pertarungan, negosiasi, dan semacamnya menjadi realitas yang wajar ditengah masyarakat.

Postmodernis

Merupakan masa setelah modernisme. Ditandai dengan sifat relativitas, tidak ada standarisasi nilai, menolak pengetahuan yang sudah jadi dan dianggap sebagai sesuatu yang sakral (grand narative). Menghargai hal-hal yang lokal, keunikan, dan semacamnya.

Neo-Marxist

Pandangan ini merupakan revisi terhadap Marxisme yang dinilai terlalu menyederhanakan realitas kedalam dua kubu yaitu kalangan penguasa dan kalangan tertindas berdasarkan kepentingan ekonomi. Sebaliknya, mereka yang mencoba tetap menggunakan asumsi Marxist namun memandang bahwa dalam realitas sosial yang komplek sesungguhnya terjadi pertarungan ideologi. Louis Althusser merupakan salah satu tokoh penting dengan konsepnya Repressive State Apparatus dan Ideology State Apparatus. Bila yang pertama merupakan lembaga kekerasan seperti militer maka yang kedua adalah lembaga seperti media, institusi pendidikan, dan sebagainya. Dalam kontek ini keberadaan ISA menjadi penting dalam kaitannya dengan Kajian Budaya.

KAJIAN BUDAYA TRADISI AMERIKA

Namun penting pula untuk dipahami bahwa Kajian Budaya juga berkembang di Amerika. Menarik memperhatikan kembali tradisi yang mencoba menoleh kembali pada apa yang dikembangkan oleh Kelompok Chicago. Yakni berkaitan dengan upaya untuk membangun komunitas.

Tentang cultural studies tampak dalam kajian makro yakni menelaah fenomena masyarakat. Bagaimana dengan kajian dalam kontek hubungan antar personal. Seperti dalam komunikasi organisasi, apakah cultural studies dan postmodernisme juga bisa digunakan .Mungkin bila strukturasi bias dikategorikan postmodernisme maka bias digunakan dalam kontek komunikasi organisasi. Tapi menyangkut hubungan antar personal barangkali tidak tepat. Kajian hubungan antar personal tetap dalam kontek pendekatan psikologi. Dan perlu diingat interaksi simbolik memiliki kedekatan dengan psikologi.

Sedang cultural studies memang dari awalnya sudah bersifat makro. Berkaitan dengan pendekatan tentang masyarakat. Sebagaimana perhatian Raymond WiIliam tentang kelas pekerja, atau Stuart Hall tentang kalangan minoritas di tengah masyarakat Inggeris Raya.

Langkah Sebelum Masuk ke Teori

Langkah awal untuk masuk ke teori adalah memahami peta. Semacam panduan agar kita tidak ‘tersesat’. Artinya, agar tidak bingung, abstrak, dan susah. Teori ibarat hutan belantara, maka untuk masuk ke dalamnya kita perlu mengenali hutan belantara tersebut seperti pengelompokkan tanaman ke dalam species, genus, dan semacamnya. Demikian pula kalau ada lembah dan ngarai kita juga perlu memahami agar tidak terjatuh. Sampai disini kita memasuki apa yang disebut sebagai pendekatan filsafat ilmu. Yakni mendekati komunikasi dari sudut filsafatnya.

Filsafat Ilmu merupakan suatu pandangan yang menyeluruh tentang suatu ilmu. Terdapat beberapa konsep penting seperti aspek ontologi, axiologi, epistemologi. Ontologi mencoba memahami apa yang disebut realitas (tentang ada), exiologi tentang nilai, dan epistemology tentang tata cara memperoleh ilmu pengetahuan. Setiap teori memiliki ketiga unsure ini. Konsekuensi dari perbedaan ontology, epistemology, dan axiology adalah berimbas pada metode penelitian yang dilakukan.

Filsafat Ilmu Pengetahuan mencoba membahas tentang ilmu pengetahuan. Sehingga dapat pula disebut sebagai Teori Ilmu Pengetahuan (Theory of Knowledge). Pemahaman yang memadai tentang hakikat Ilmu Pengetahuan akan menjadi pegangan yang penting bagi mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan. Dalam kontek ini relevan apa yang diawal disebut yakni sebagai peta yang akan memandu orang dalam memahami ilmu pengetahuan.

Ilmu Komunikasi merupakan bagian dari Ilmu Sosial. Dalam Ilmu Sosial dalam tinjauan Filsafat Ilmu Pengetahuan dikenal terdapatnya paradigma atau perspektif. Yakni positivistik, interpretatif, dan kritis. Perkembangan kontemporer dalam ilmu sosial mengenalkan tentang perspektif yang sedang berkembang yaitu postmodernisme. Maka sesungguhnya dalam mengkaji teori komunikasi akan dapat dikelompokkan ke dalam paradigma atau perspektif ini. 11

Masing-masing paradigma ini memiliki sudut ontologi, epistemologi, dan axiologi yang berbeda. Terdapatnya perbedaan unsur-unsur filsafat ilmu semacam ini menjadikan adanya perbedaan yang kadangkala tidak jarang kita temukan adanya kontradiksi satu sama lain. Tapi sekali lagi, ini menunjukkan bahwa masing-masing teori memiliki kebenarannya sendiri bergantung pada asumsi ontologi, axiologi, dan epistemologi.

Yang jelas suatu paradigma memberi penekanan pada aspek yang lain dan melalainkan sudut pandang yang lain. Dalam kontek inilah kita dapat memahami. Misalkan paradigma positivistik menekankan pada keharmonisan dan berlangsungnya peran ; tapi tidak mempersoalkan kesenjangan dan dominasi. Hal inilah yang kemudian mendapat perhatian dari aliran kritis. Barangkali dalam kontek ini pula kemudian, bila mencoba merumuskan ilmu social profetis dimana sudut pandang dari ajaran Islam menjadi penting.

Maka harapannya, dengan memahami unsur-unsur ontologi, axiologi, dan epistemologi ini kita akan dapat memahami suatu teori dengan tepat. Sehingga pada akhirnya kita pun akan dapat menggunakan teori secara benar. Sehingga pemikiran yang logis, pemahaman yang memadai terhadap perbedaan teori, penggunaan yang tepat dalam menganalisis masalah-masalah komunikasi, akan dapat dimunculkan.

Buku lain yang menarik dan penting dalam kaitannya dengan Ilmu Komunikasi adalah karya John Fiske. Beberapa pola yang dihadirkan adalah untuk menyebut teori komunikasi, maka Fiske menggunakan model-model yang sudah ‘populer’ selama ini seperti Shannon dan Weaver sebagai peletak fondasi melalui teori informasi dan cybernetic. Kemudian dikenalkan model lain seperti Gebner, Lasswell, Newcomb, Westley dan MacLean, dan Jakobson.

Selanjutnya juga dibuatkan penghubung dengan perspektif ‘baru’ tentang hubungan komunikasi, pemaknaan, dan tanda-tanda. Dari sini kemudian masuk pada kajian tentang simbol dan semacamnya seperti metode semiotika. Melalui pintu ini pula kemudian kajian komunikasi perspektif ‘baru’ yang lebih dekat dengan tradisi kajian budaya diperkenalkan.

Bila pada kajian komunikasi yang sudah ‘populer’ metode penelitian dikenal seperti uses and gratification,agenda setting, cultivation analysist, content analysis, semantic differential. Maka dalam pendekatan yang ‘baru’ dikenalkan semiotik dengan tokoh-tokoh seperti Roland Barthes.

Buku kecil ini menjadi penting untuk mencoba melihat pemetaan kajian komunikasi dengan melihat keterkaitan dengan wacana kontemporer dalam ilmu-ilmu sosial, dalam hal ini perpektif kajian budaya dan tema-tema dalam postmodernisme. Buku ini terbit 1982-an. Coba bandingkan, dengan hadirnya buku Everrett M. Rogers, History of Communication Study : A Biograrphycal Approach (1994) yang menunjukkan pengakuan akan kehadiran pendekatan budaya yang perlu untuk diperhatikan dalam kajian komunikasi.

Dengan begitu, perspektif tentang kajian budaya sebagai yang kontemporer menjadi penting untuk diperhatikan.

Hal lain yang penting dari Fiske adalah mengenalkan tentang dua cara memahami komunikasi yaitu antara transmisi model dan meaning / ritual model. Sebuah pembagian yang dikenalkan pula James W. Carey yang merujuk kembali pada pemikiran John Dewey dari Chicago School. (--16/4/5—ketika model ini disampaikan dalam forum kajian komunikasi landungsari, tampaknya ada kesan audience memahami sebagai sesuatu yang baru. Ini menandakan hal ini belum banyak diketahui. Belum populer)

Maka membahas buku James W. Carey, Communication As Culture, tampaknya juga penting. Termasuk menjadikan sebagai literature dalam kajian komunikasi. Buku ini cukup sering dirujuk dalam banyak literature. (Perbandingan pustaka)

PERBANDINGAN LITERATUR TENTANG TEORI KOMUNIKASI

Berikut perbandingan sejumlah bacaan tentang teori komunikasi untuk melihat sudut pandang dalam membahas teori komunikasi. Pertama adalah buku Building Communication Theory oleh Dominic A. Infante, Andrew S. Rancer, dan Deanna F. Womack. Tampak sebagai berikut : memaparkan pengantar awal tentang kajian ilmu komunikasi yang meliputi defenisi komunikasi, karakteristik komunikasi yang dibuat menjadi kategori : hakekat komunikasi sebagai simbolik, bertujuan, tindakan terencana, transaksional, kontektual, kemudian juga tentang fungsi komunikasi, arti penting komunikasi, serta model-model komunikasi. (perlu baca models-models komunikasi, pinjam nasrulloh8/3/5)

Bagian berikutnya juga membahas satu bab tentang sudut pandang mengenai teori seperti fungsi teori, perkembangan dan perubahan teori, cara menguji teori. Tampaklah disini pembahasan dari sudut filsafat ilmu pengetahuan.

Bab berikutnya membahas tentang paradigma dan teori komunikasi. Disini paradigma dibagi kedalam tiga kelompok yaitu hukum peliputan, aturan, dan sistim.

Penyusun buku ini kemudian membuat judul pokok pada bagian kedua Bangunan Teori dalam Pendekatan Utama untuk Komunikasi yakni : perkembangan pendekatan dalam kajian komunikasi (aspek kronologis historis), pendekatan kepribadian, pendekatan persuasi, pendekatan tingkah laku verbal, dan pendekatan tingkah laku non verbal. (e

Bagian terakhir atau ketiga dibuat judul Bangunan Teori dalam Kontek Komunikasi yang dibagi kedalam : kontek interpersonal, kontek kelompok dan organisasi, kontek media massa, dan kontek antar budaya.

Beberapa hal yang dapat dikomentari adalah : mengenalkan tentang pengertian dasar komunikasi, model-model komunikasi, perkembangan kajian komunikasi, perspektif dalam kajian ilmu komunikasi, pendekatan kajian komunikasi (kepribadian, persuasi, perilaku verbal, perilaku non verbal), dan kontek-kontek komunikasi.

Maka bila menggunakan literatur lain, maka ketika menjelaskan tentang pengertian komunikasi dapat pula menambahkan apa yang dikembangkan James Carey, John Fiske tentang komunikasi sebagai transmisi dan meaning. Sedangkan untuk model komunikasi dapat pula menambahkan model J. Habermas. (speech act, 8/3/5)

Sedangkan buku lain dari Julia Wood, Communication Theory in Action membuat sudut pandang dalam membahas teori komunikasi sebagai berikut. Bagain pertama membahas komunikasi dan teori yang meliputi pembukaan, komunikasi sebagai sebuah bidang (defenisi komunikasi, nilai komunikasi, nafas bidang komunikasi : intrapersonal, interpersonal, kelompok, dan publik). Bab ke-dua tentang memahami teori komunikasi yang meliputi tujuan teori, cara mengevaluasi teori, perspektif dalam mempelajari teori. Sedangkan bab ke-tiga masih membicarakan tentang teori dan cara melakukan uji teori.

Bagian kedua membahas teori-teori komunikasi yang dikelompokkan : suatu pandangan awal tentang teori komunikasi : general semantic. Bab berikut tentang kegiatan simbolik : interaksi simbolik, dramatisasi, teori narasi. Teori tentang bagaimana manusia membuat pemaknaan (CMM dan konstruktivisme). Teori tentang dinamika komunikasi (teori interaksi, teori dialektika). Teori tentang komunikasi dan evolusi relasional (URT, Social Exchange Theory, Developing Theories). Teori tentang budaya komunikasi (komunikasi dan kebudayaan ; budaya organisasi, komunitas berbicara). Teori komunikasi massa. Teori komunikasi kritis. Pada pandangan akhir Wood mencoba mengingatkan tentang perkembangan kontemporer dengan tampilnya postmodernisme.

Beberapa hal yang menarik dari buku Wood adalah : dimasukannya pendekatan kritis dalam kajian komunikasi. Demikian pula pandangan kontemporer dari kubu postmodernisme yang juga sudah diperkenalkan. Hal ini menarik dalam membahas teori komunikasi. Tampaknya dengan memasukan pendekatan kritis dan postmodernisme semakin kuat ketika kita melihat pembagian yang dibuat oleh Stephen W. Littlejohn dan E.M. Griffin yang juga sudah memasukan pendekatan diatas.

Sedangkan persinggungan dengan buku Building Communication Theory adalah ditempatkannya pembahasan tentang bahasa atau simbol sebagai poin yang penting. Selain tentu saja tentang aspek filsafat ilmu pengetahuan seperti hakekat teori, fungsi teori, cara menguji teori, atau perkembangan teori. Hal yang sama juga terlihat dalam buku Stephen W. Littlejohn. Hal lain adalah tentang komunikasi sebagai fenomena interaksi yang perlu diberi perhatian. Dalam hal ini secara umum dapat disebut sebagai kontek interpersonal dari komunikasi. Terdapat sejumlah teori yang dapat membantu menjelaskan hal ini.

Tampak bahwa pembahasan tentang aspek Teknologi Informasi belum mendapat perhatian. Padahal bila kita perhatikan dalam buku kumpulan tulisan Communication Theory Today, tampak bahwa terdapat teori-teori yang mencoba mengkaji tentang keberadaan dunia Teknologi Informasi terhadap kehidupan manusia. Tampaknya inilah kajian-kajian seputar computer mediated communication (CMC). Menjadi kebutuhan untuk membahas hal ini dalam kontek sekarang karena menjadi realitas yang sedang dihadapi masyarakat kita tidak terkecuali di Indonesia.

CMC tampaknya dapat dihubungkan dengan postmodernisme. Sebab salah satu hal pokok dari postmodernisme adalah pentingnya media elektronik. Dan perkembangan media adalah bertemunya media elektronik dengan satelit yang semakin mewujudkan global village. Maka pembahasan tentang teknologi komunikasi juga merupakan suatu materi yang penting dan perlu dilakukan.

Dalam kontek ilmu komunikasi, bentuk tubuh ilmu komunikasi dapat dikenali berdasarkan apa yang telah dicoba susun oleh sejumlah sarjana. Misalkan Robert Craig yang dikutip baik dalam buku Stephen W. Littlejohn maupun EM. Grifin dengan membagi kedalam tujuh tradisi : psikologi sosial, sosial budaya, retorika, semiotik, cybernetik, fenomenologi, dan kritis. Atau Tankard – membagi ke dalam : Barat dan Timur. Demikian pula John Fiske dan James W. Carey membedakan antara model transmisi dan model ritual / meaning.

Ilmu Komunikasi didekati dalam sejumlah pendekatan. Kelahiran Ilmu Komunikasi 13 menunjukkan keterlibatan sejumlah disiplin seperti sosiologi, politik, psikologi, matematik, dan sebagainya. Maka tidak mengherankan bila pendekatan dalam mengkaji ilmu komunikasi terdapat sejumlah pendekatan dalam pengertian disiplin.

Misalkan sebagaimana tergambar berikut :

Para pengkaji media massa dalam mendefenisikan komunikasi bias dari aspek perkembangan teknologi atau pengaruh pers terhadap public. Dari kalangan telekomunikasi seperti Shannon dan Weaver mengartikan komunikasi dalam source, pesan, saluran, penerima. Sementara ahli peneliti ilmu social secara alamiah memasukan tujuan dari pengirim pesan dan dampak pesan tersebut pada penerima—sejak dari hubungan dua orang sampai gerakan social dari penduduk yang luas. Kalangan manajemen memusatkan pada pengiriman pesan yang jelas kepada pekerja untuk menjadikan tugas dikerjakan dengan baik. Seorang ahli terapi percakapan memusatkan pada tindakan menerima pesan secara lisan. Pandangan ilmiah tentang komunikasi memiliki suatu misi yang jelas dan khusus…………

Para psikolog yang terbiasa bekerja dengan komunikasi antarpersonal cenderung memusatkan pada kompleksitas dari hubungan internal dan eksternal, kepribadian, motiv, dan dorongan dari orang melakukan komunikasi. Ahli lain mempelajari asal muasal atau pemaknaan dari kata-kata. McLuhan percaya bahwa mengkaji komunikasi diganggu oleh terlalu banyak perhatian pada sender-message-receiver. Dia memandang bahwa perhatian tersebut tidak menyertakan hal paling pokok pada medium dan berpandangan pada penekanan dalam bukunya The Medium is the Message. (--10/6/5—berarti teknologi determinism dapat juga dipandang sebagai sebuah aliran diluar model transmis dan meaning. Bukankah McLuhan mengkritik cara pandang transmisi? Kembangkan)

Katz dan Lazarfeld mempertanyakan pemikiran bahwa public dipengaruhi secara langsung oleh pesan dari media—mereka menekankan bahwa kontak antar pribadi oleh orang, khususnya, pemuka pendapat berbicara kepada yang bukan pemimpin, lebih mungkin mempengaruhi sikap dari pada media mekanik pesan hanya dari diri mereka sendiri. Pemikiran mereka, yang mereka sebut “two step flow” of information merupakan sangat penting bagi mahasiswa dan guru mengenai komunikasi antar pribadi sebagaimana mereka yang mengkaji komunikasi massa. 14

Tampaklah betapa ilmu komunikasi didekati dalam sejumlah pendekatan dan sudut pandang. Masing-masing dengan perspektif keilmuannya. Masing-masing memiliki landasan kebenarannya. Tentu saja penekanan dari latar belakang keilmuan menjadi penting untuk diperhatikan. Maka itu perlu melakukan pendekatan tertentu.15

Dr. Sasa Djuarsa mengatakan ilmu komunikasi tidak memiliki grand teori. Dalam buku Littlejohn terasa sekali betapa ilmu-ilmu social kontemporer ikut dimasukan sebagai kajian ilmu komunikasi. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya ilmu komunikasi. (pendekatan komunikasi)

Dalam kajian komunikasi, pendekatan positivistic dapat dijumpai dalam penelitian administrative dengan tokoh utama Paul F. Lazarfeld. Dalam kontek ini, penelitian memberi perhatian terhadap aspek mikro yakni unit analisis individu. Hasil penelitian akan berguna bagi dunia industri untuk dasar membuat keputusan. Penelitian semacam ini tidak mampu menunjukkan adanya kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Hal yang sama juga berlaku pada penelitian persuasi Hovland yang menggunakan pendekatan eksperimental. Tidak bias dipungkiri bahwa masa awal proses pembentukan kajian komunikasi dalam kontek decade 40-an dominan paradigma positivistic atau yang disebut juga aliran empiris.

Maka dalam kontek yang lain, pendekatan kritis dan interpretative menjadi penting. Pendekatan kritis dapat menjelaskan tentang aspek makro. Melihat ada kesenjangan dalam relasi social. Demikian pula pendekatan interpretative yang memberi perhatian pada pendekatan yang lebih humanistic. Dalam pengertian tidak memperlakukan manusia sebagai objek tapi sebagai subjek.

Maka ketika kemudian dikenalkan pendekatan Newman yang memaparkan paradigma yang ada dalam ilmu social, baru dia menyadari letak persoalannya. Ada kesan, cara berpikir dalam paradigma positivistic sangat dominant dalam benak mahasiswa sehingga ketika memahami paradigma lain seperti interpretative atau kritis, masih menggunakan cara berpikir positivistic.

Dalam kontek inilah kerancuan berpikir terjadi. Dalam kasus komunikasi, DR. Viktor Menayang mengungkapkan betapa seorang mahasiswa program doktornya yang menduduki pimpinan sebuah media industri, dalam menulis disertasi memilih paradigma kritis yang dapat dengan tajam menjelaskan persoalan yang terjadi dalam media industri. Namun diakhir penelitiannya dia mengemukakan gagasan yang berkaitan dengan peningkatan profesionalitas kinerja. Hal ini yang dikomentari DR. Victor terjadi kerancuan berpikir.

Hal lain yang hendak diungkapkan DR. Victor Menayang adalah soal polemic dampak media antara hypodermic needle dan limited effect. Hal-hal ini tidak menjadi perhatian atau prioritas DR. Victor Menayang karena menurutnya masih ada hal lain yang lebih mendesak. Yakni menyangkut cara pandang terhadap media sebagai institusi social yang memiliki dimensi ekonomi dan politik. Sehingga dia beralih memperhatikan dari pendekatan mikro seperti efek media ke kajian pendekatan makro yang mencoba mempersoalkan relasi antar institusi social yang ada seperti ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya.

Dalam kontek inilah sesungguhnya kita memahami perdebatan dalam ilmu komunikasi. Bahwa perspektif positivistic yang banyak menggunakan pendekatan mikro sangat dominant di Indonesia. Kalau kita memperhatikan kurikulum maka dapat dilihat betapa dominannya arus besar ini. Begitu pula dalam tema-tema komunikasi pembangunan yang banyak merujuk pada cara pandang semacam ini.

Barangkali dapat pula dikaitkan dengan dominannya proyek modernisasi. Dimana kepentingan dunia usaha menjadi dominant. Maka dalam kontek ini pilihan paradigma ilmu social yang dikembangkan cenderung pada pandangan positivistik.

Maka menjadi keharusan bagi mahasiswa untuk memahami keseluruhan perspektif yang ada seperti positivistic, interpretative, kritis, dan postmodernisme. Tinggal kemudian memilih perspektif mana yang dipercaya dan berguna dalam pilihan profesi yang kemudian ditekuni. Yang pada hakikatnya juga mewakili kepentingan dan nilai-nilai yang mereka yakini.

Fenomena dominannya pendekatan administrative dalam kajian komunikasi di Amerika tidak terlepas dari era propaganda dan kemudian industrialisasi. Maka dalam kontek ini kenapa kemudian model yang dikembangkan Paul F. Lazarfeld menjadi dominant. Bandingkan kemudian betapa pendekatan antropologi menjadi penting dalam kontek komunikasi antar budaya yang muncul dalam suasana setelah perang dimana pemerintah Amerika dalam menjalankan proyek modernisasi ke Negara-negara lain memerlukan pemahaman yang memadai mengenai budaya bangsa lain. Maka para ahli antropologi seperti Edward T. Hall menjadi penting sebagai rujukan dalam kajian komunikasi antar budaya. (filsafat ilmu3)

MAZHAB ILMU KOMUNIKASI

Mashab Ilmu Komunikasi perlu untuk dikenali. Dalam ilmu sosial, kita mengenal mashab seperti Chicago, Frankurt, Annal, dan sebagainya. Secara sederhana, mashab berkaitan dengan suatu aliran ilmu pengetahuan yang sangat berpengaruh dan memiliki pendukung. Dengan memahami mashab menjadi penting untuk mengenali pengelompokkan teori.

Dalam studi komunikasi, kita mengenal beberapa mashab seperti Chicago School, Administrative Research, Teknologi Deterministik, Palo Alto, Birmingham Cultural Studies, dan sebagainya. Melalui beberapa kelompok ini kita akan mengenal sejumlah tokoh dan teori komunikasi.

John Fiske secara umum membagi pembagian mazhab studi komunikasi kedalam empirisme dan semiotic. Berikut penjelasannya dari pemaparan dibawah ini.

Empirisme

Mashab empiris dapat dikenali seperti pada penelitian content analysist, uses&gratification, agenda setting, cultivation analysist, survay, eksperimen. Penelitian-penelitian yang tergolong penelitian nomothetic, yaitu penelitian empiris yang akan mengukur realitas dan akan menghasilkan suatu generalisasi. Secara paradigmatic, mashab empiris berada dalam positivistik.

Mashab empiris dapat dikenali ketika dalam kajian komunikasi di Amerika menguat tradisi behavioral dari psikologi sosial dan sosiologi struktural fungsional. Maka pandangan yang menggunakan asumsi berfikir positivistik kemudian menjadi dominan dalam studi komunikasi.

Beberapa teori komunikasi yang dapat dimasukan dalam kelompok ini adalah ragam teori yang disebut sebagai covering law theory dan sistim teori. Yakni teori yang dipercaya berlaku universal, berdasar penelitian empiris, bersifat objektif, dan sebagainya. Contoh teorinya adalah temuan penelitian Carl Hovland, Paul F. Lazarfeld, Wilbur Schramm, dan sebagainya. Misalkan teori two steps flow of communication, teori persuasive Hovland, teori Uncertainty Reduction Theory, dan sebagainya.

Mengenai Teori Sistem yang teori ini misalkan nanti berkaitan dengan kajian organisasi atau kajian makro mengenai sistim sosial. Pemikiran mengenai cybernetic dapat dimasukan dalam kelompok ini. Demikian pula pendekatan kognitif dalam proses pembuatan keputusan.

Keberadaan kalangan administrative riset berada dalam mashab empiris. Pandangan kalangan ini juga dapat kita pahami memandang komunikasi sebagai transmisi. Hal ini menjadi dapat dimengerti karena kemunculan kelompok ini berkaitan dengan era propaganda di Amerika.

Dapat juga dimasukan disini berkaitan dengan tradisi kajian komunikasi dari Amerika pasca Chicago School. Sekalipun kita juga perlu kemukakan bahwa tradisi ini kemudian juga akan mempengaruhi kajian komunikasi di Eropa, yang ditandai dengan diadopsinya penelitian kuantitatif dalam kajian komunikasi di Eropa.

Semiotics

Inti dari mazhab ini mencoba untuk menekankan pada text atau yang disebut juga sebagai works of communication action. Perhatian berkaitan dengan lambang dalam artian luas (text). Dengan demikian tidak lagi memperhatikan soal unsur-unsur komunikasi sebagaimana yang terdapat pada mashab empiris yang memahami komunikasi sebagai transmisi. Karenanya juga tidak memikirkan tentang efek komunikasi. Cara berpikirnya adalah empati, memahami (verstehen), berfikir holistik, dan sebagainya.

Mashab ini kemudian menjadi penting bila kita kaitkan dengan pendekatan humanistik. Bila dikembalikan pada paradigma ilmu sosial akan berada dalam paradigma interpretatif. Penelitiannya kemudian disebut sebagai penelitian ideografik, yang bertujuan untuk menggambarkan secara mendalam mengenai tindakan sosial yang bermakna (meaningfull social action).

Contoh teori yang berada dalam mashab ini adalah kajian tentang audience aktif (active audience) sebagaimana dilakukan James Lull. Demikian pula penelitian lapangan (field research) yang banyak dilakukan Robert E. Park dari Universitas Chicago diawal abad 20. Teori lain misalkan teori Interaksi Simbolik yang dikembangkan George H. Mead.

Dalam kajian komunikasi, bila mengacu pada pembagian Fiske diatas, mashab semiotic ini dapat didekatkan dengan pandangan komunikasi sebagai ritual, atau meaning. Atau bila mengacu pada James W. Carey kita mengenali pengertian komunikasi sebagai budaya (communication as culture).

Berkaitan dengan pembahasan mengenai mashab ini juga penting untuk membahas tentang keberadaan paradigma ilmu sosial kritis (critical social science) dan postmodernisme. Paradigma kritis posisi paradigma berada diantara positivistik (empiris) dan interpretatif (semiotics).

Memang dalam ilmu komunikasi dewasa ini kita dapat jumpai kehadiran figur dari paradigma kritis seperti Stanley Deetz, Noam Chomsky. Herbert Schiller, dan sebagainya.

Demikian pula, sebelum dilanjutkan, perlu untuk memahami mengenai critical social science. Bahwa paradigma ini disatu sisi tergolong positivistik karena bersifat empiris mengenai realitas yang tersusun atas kelompok berkuasa dan kelompok yang dikuasai. Pada sisi lain, paradigma kritis tidak bersifat objektif sebagaimana prasyarat dalam paradigma positivistik. Paradigma kritis sedari awal melakukan keberpihakan terhadap kalangan yang dikuasai. Ini yang disebut ilmuwan tidak hanya menjadi pengamat tetapi juga terlibat dalam melakukan emansipasi terhadap kalangan yang lemah itu.

Maka nantinya, dalam tradisi kritis, pada satu sisi kita dapat memakai analisis semiotik untuk menunjukkan terjadinya proses dominasi. Pada sisi yang lain, kita juga mempercaya adanya struktur sosial yang ditandai dengan proses dominasi itu.

Bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer kemudian dikenal apa yang disebut postmodernisme atau post strukturalis, bahkan ada juga yang disebut sebagai post colonial.

Perkembangan ini juga melanda kajian komunikasi. Hal ini tentu saja mengingat karakter ilmu komunikasi yang interdisipliner. Dengan begitu perkembangan yang terjadi dalam berbagai bidang tentunya juga akan diikuti ilmu komunikasi.

Bahwa pandangan modernis—dan kita tahu ilmu komunikasi lahir sebagai bagian dari produk modernis—dinilai mereduksi kompleksitas realitas, etnosentrik, dan mekanis. Sebaliknya posmodernisme menjelaskan fenomena masyarakat kontemporer, masyarakat informasi, masyarakat yang dibesarkan oleh budaya televisi dan terbentuknya global village, budaya kapitalisme lanjut, dan sebagainya. Beberapa figur dari paradigma ini adalah seperti Michael Foucault, Roland Barthes, Jean Boudrillard, dan sebagainya.

Posmodernisme merupakan pendekatan pasca modern. Pendekatan ini dikenal juga sebagai poststrukturalis. Pandangan disini lebih melihat realitas sebagai sesuatu yang lebih komplek dan senantiasa berproses. Pentingnya peran bahasa sebagai pembentuk realitas. Pandangan semacam ini tergolong pandangan kontemporer yang tentu juga berlaku bagi studi komunikasi. Dalam mashab ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah semiotic dan etnografi. Disini tampak pendekatan dari tradisi semiotik digunakan. Demikian juga dari tradisi interpretatif lain seperti etnografi.

Sampai disini pembahasan mengenai mashab sudah menunjukkan keseluruhan yang ada. Dengan memahami mengenai mashab ini kita dapat mengenali secara utuh mengenai kajian ilmu komunikasi.