Kamis, 07 Januari 2010

Komersialisasi Pendidikan Tinggi
*Oleh : Achmad Surya Mandala*

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.
Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.
Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.
Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.
Lebih parah lagi, bahkan ada PTS yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Pemerintah harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PT. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.
iUntuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

*MAHASISWA UNTIRTA*
SEMESTER 7
FISIP KOMUNIKASI

MENGUBAH PENCITRAAN

Mengubah Pencitraan

*Oleh : Achmad Surya Mandala*

Pada tataran ideal, mahasiswa selalu dianggap sebagai agent of social change atau kelompok yang diharapkan mampu membawa perubahan atau pencerahan bagi masa depan bangsa dan tatanan masyarakat secara makro. Namun patut disayangkan, tugas mahaberat ini masih belum sepenuhnya disadari atau paling tidak belum mampu merasuki alam pikiran mereka. Maka tidak mengherankan jika pada beberapa komponen mahasiswa tampak lebih cenderung menunjukkan sikap pragmatis, berfikir pendek, dan acuh terhadap persoalan-persoalan krusial yang terjadi pada tataran akar rumput (grassroot).

Kecenderungan sebagian mahasiswa semacam ini acapkali ditunjukkan dalam berbagai sikap yang bersifat hedonistik, egosentrik, dan sejenisnya, yang sesungguhnya jauh dari nilai-nilai tradisi intelektual dan kecendekiawanan. Contoh gampang dapat kita sebut tawuran mahasiswa. Fenomena ini belakangan mulai banyak menggejala, tidak hanya di wilayah-wilayah metropolitan tapi juga merambah pada komunitas rural. Karena begitu janggal dan anehnya fenomena ini, sampai-sampai Profesor Sarlito Wirawan (2005), pakar psikologi Universitas Indonesia, dalam sebuah artikelnya, bertanya-tanya penuh keheranan, “Mahasiswa kok tawuran?” Bahkan yang lebih membelalakkan mata, tidak jarang suatu komunitas mahasiswa tertentu, atau paling tidak oknum-oknum mahasiswa, yang terlibat dalam tindak kriminal, mulai dari Narkoba, pencurian, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya.

Fenomena-fenomena tersebut paling tidak menyadarkan kita tentang sesuatu yang kontraproduktif. Apa yang kita saksikan terkait sepak terjang mahasiswa menunjukkan indikasi kuat bahwa orientasi, visi, dan misi mahasiswa sebagai calon elit-elit intelektual yang kelak diharapkan melahirkan pencerahan dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat kini sudah mulai tercabut dari akar filosofis pendidikan tinggi kita. Dari sinilah kemudian muncul pencitraan yang tidak membanggakan yang dialamatkan pada dunia kampus, khususnya mahasiswa.

Stigmatisasi publik terhadap civitas akademika jika dibiarkan terus berlarut-larut dikhawatirkan akan melahirkan sikap skeptis atau bahkan ketidakpercayaan publik terhadap dunia akademis. Pada era reformasi, misalnya, yang diklaim sebagai era kemenangan mahasiswa dan demokrasi, telah banyak mempertontonkan realitas yang sangat menohok bahkan ironi. Coba kita hitung sudah berapa orang tokoh yang menjadi simbol intelektualisme kampus silih berganti duduk di kursi pesakitan karena dijerat dengan kasus-kasus kriminal? Dan sudahkah kita hitung pula seberapa banyak tokoh intelektual yang kemudian harus menghuni jeruji besi? Inilah sekelumit kenyataan yang dihadapi dunia akademik saat ini.

Tampaknya, harapan untuk menjadikan dunia kampus sebagai pusat keunggulan (center of exellence) dan kawah candradimuka yang menghasilkan “punggawa-punggawa” atau “kesatria-kesatria” yang cerdas, santun, dan perkasa, akan menemukan banyak batu sandungan. Oleh karena itu, paling tidak, tugas mendesak para pelaku pendidikan tinggi saat ini adalah melakukan otokritik (muhasabah) dan segera melancarkan perubahan-perubahan mendasar, baik dalam ranah kelembagaan (institusi), orientasi pendidikan, metodologi, epistemologi, dan sebagainya. Dengan melakukan hal-hal tersebut, tentu kita semua berharap dapat membelokkan stigma atau pencitraan publik yang negatif terhadap dunia kampus (masyarakat akademis).

Upaya ini tentu tidak mudah diwujudkan, terlebih di tengah derasnya opini publik yang kian terbentuk, namun menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Oleh karena itu, seluruh komponen pelaku pendidikan tinggi, baik pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional maupun masyarakat (swasta), harus bekerja keras dan mengerahkan segenap energi untuk mewujudkannya.

Kita tidak mungkin menampik bahwa keberadaan mahasiswa sebagai identitas dunia akademis akan selalu membutuhkan perhatian banyak pihak. Sebagai obyek sekaligus subyek pembelajaran, sejatinya mahasiswa tidak hanya dirancang untuk menjadi mesin-mesin yang profesional atau intelektual yang mumpuni dalam bidang keilmuan tertentu, tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana menanamkan etos kecendekiawanan dalam diri mereka.

Etos kecendekiawanan akan tercermin dalam orientasi, sikap, dan perilaku yang cenderung lebih bijak dan senantiasa mengedepankan kepentingan-kepentingan yang lebih luas dan esensial. Seorang cendekiawan dengan serta-merta akan tersentuh nuraninya manakala menyaksikan ketimpangan dan penderitaan di sekelilingnya. Dia juga tidak akan berpangku tangan menyaksikan ketidakadilan terjadi di depan matanya. Singkatnya, etos kecendekiawanan akan melahirkan kepekaan sosial (social responsibility) dalam dirinya dan meluruhkan setiap bentuk keakuan, terlebih kesombongan atau keangkuhan intelektual.

Etos semcam ini dapat lahir atau paling tidak selaras dengan dua hal. Pertama, berangkat dari dogma-dogma ajaran keagamaan. Kita tentu sadar, bahwa tak satu pun agama atau sistem kepercayaan tertentu yang mengajarkan umatnya untuk berbuat jahat atau menimbulkan penderitaan bagi lingkungannya. Premis terbaliknya (mafhum mukhalafah) adalah bahwa setiap umat diharuskan menciptakan suasana kondusif, keadilan, dan kesejahteraan bagi alam sekitarnya. Dengan demikian, keyakinan keagamaan akan mengantarkan menganutnya memiliki etos kecendekiawanan.

Kedua, program-program pengabdian kepada masyarakat, sebagai implementasi dari Tridharma Perguruan Tinggi, merupakan salah satu wahana yang berfungsi menempa dan mengasah etos kecendekiawanan mahasiswa. Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah contoh konkret bagaimana Perguruan Tinggi berupaya menanamkan etos kecendekiawanan. Dalam arti kata lain, ilmu pengetahuan yag diperoleh dibangku perkuliahan tidak akan banyak bernilai guna jika tidak dinikmati oleh orang lain dan ditransformasikan kepada yang membutuhkannya.

*MAHASISWA UNTIRTA*

SEMESTER 7

FISIP KOMUNIKASI

Minggu, 03 Januari 2010

SKENARIO PRIVATISASI PLN

Skenario privatisasi PLN

Sebagaimana Telkom dan Indosat jaman Ibu Megawati dulu yang membuat skenario pembayaran hutang dengan menjual aset negeri, Indosat dan Telkom...

Begitupula skenario privatisasi PLN dan untuk masuknya perusahaan perusahaaan listrik asing untuk melarikan uang rakyat Indonesia ke negeri mereka adalah sebagai berikut.

PLN yang akhir - akhir ini melakukan pemadaman bergilir adalah merupakan suatu bagian awal dari skenario privatisasi dan masuknya perusahaan perusahaan listrik asing. Skenario sebagai berikut...

PLN dibuat lemah tak berdaya untuk mendistribusikan listrik mereka ke masyarakat, akibatnya terjadilah pemadaman bergilir yang kita alami hampir setiap hari. Hal ini menimbulkan kemarahan masyarakat dan industri di Indonesia kepada PLN karena merugikan mereka.

Atas dasar alasan itu, maka SBY mengancam PLN, jika PLN tidak bisa menangani pasokan dalam negeri, maka perusahaan-perusaha an listrik asing akan masuk menggantikan PLN dan memprivatisasi PLN dalam rangka untuk "menyediakan listrik" bagi masyarakat. Hal ini hanya bisa terlaksana di Pemerintahan SBY jilid II ini. Karena privatisasi PLN ini tidak bisa dilakukan pada saat pemerintahan SBY jilid I akibat pertentangan masyarakat dalam privatisasi BUMN.

Untuk "membungkam" people power dalam memprivatisasi PLN, maka rakyat indonesia dibuat marah kepada PLN agar rencana memasukkan perusahaan perusahaan listrik asing dan privatisasi PLN bisa mulus terencana dengan baik. Kemarahan masyarakat ini sudah tampak akhir akhir ini.

Flow skenario itu adalah sebagai berikut :

1. PLN dibuat tidak bisa menyediakan listrik ke masyarakat 2. Masyarakat marah kepada PLN 3. SBY turun tangan dengan mengancam PLN 4. PLN TETAP TIDAK BISA MENANGANI PASOKAN LISTRIK 5. Dibuat lah kebijakan pemerintah untuk memasukkan perusahaan asing 6. Privatisasi PLN

Note:
Adalah sangat tidak mungkin, PLN tidak bisa menangani konsumsi listrik masyarakat disaat pembagunan power plant sedang gencar-gencarnya.

Listrik kita sebetulnya bisa surplus akibat pembangunan 10.000 MW Powerplant atas prakarsa Pak Jusuf Kalla. Namun akibat skenario pemerintah SBY yang merupakan antek asing ini, maka Power Plant tersebut "disetel" untuk membangkitkan listrik yang lemah agar tidak bisa memenuhi request listrik dari PLN untuk menyediakan listrik bagi masyarakat Indonesia.

You know what?? SBY akan keluar lagi sebagai "penyelamat masyarakat" akibat masyarakat kesulitan listrik. PADAHAL HAL ITU MERUPAKAN SKENARIO PENJUALAN ASSET ASSET NEGERI INI KE ANTEK ANTEK ASING!!

Save this Republik!

PROSTITUSI SEBAGAI CONTOH PERILAKU MENYIMPANG DALAM PROSES SOSIOLOGI

PROSTITUSI SEBAGAI CONTOH PERILAKU MENYIMPANG DALAM PROSES SOSIOLOGI

Perilaku menyimpang secara sosiologis diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.

Perilaku menyimpang dalam konteks agama, secara ekstrem perilakunya diberikan stempel sebagai pendosa atau sesat, termasuk ajaran dan faham yang disiarkannya kepada masyarakat dianggap bertentangan dengan syariat maupun akidah agama disebut sebagai ajaran sesat.

Kegiatan prostitusi dalam perkembangannya dewasa ini sangat megkhawatirkan, kita sering lihat dan baca baik di media cetak atau elektronik orang-orang yang terjun ke dunia nista ini selalu meningkat, ada apa sebenarnya dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Dan praktek prostitusi ini sebagai contoh salah satu perilaku menyimpang di masyarakat.

Dilihat dari sisi ilmu sosiologi dimana sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Dalam Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial.

Definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli. (Pitirim Sorokin) Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral),  jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain

Jadi berdasarkan Pengertian sosiologi diatas, praktek prostitusi merupakan sebuah gejala penyimpangan sosial yang bisa berawal dari sebuah kondisi keluarga serta dari sebuah interaksi sosial, Interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi dalam hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dan kelompok.

Laurence (1988): Bahwa proses sosialisasi adalah  proses pendidikan atau latihan seseorang yang belum berpengalaman  dalam suatu kebudayaan belajar  dan dalam berusaha menguasai kebudayaan sebagai aspek perilakunya. Dengan kata lain,Proses sosialisasi adalah  suatu tahapan tahapan dalam pembentukan sikap atau perilaku seorang anak sesuai dengan perilaku atau norma-norma dalam kelompok atau keluarga. Bagaimana ketika pengaruh gejala-gejala sosial tidak saling melengkapi maka akhirnya terjadi perilaku-perilaku yang menyimpang sehingga berpengaruh pada perilaku masyarakat, dan akhirnya menjadi  gejala penyimpangan sosial yang negatif, faktor-faktor kehidupan sosial sangat berpengaruh, terlihat dari banyaknya kasus prostitusi atau orang-orang yang masuk kedalamnya diantaranya dari pergaulan yang tidak baik, taraf ekononomi yang kurang baik, ataupun kondisi keluarga yang rumit misal anak-anak broken home, yang akhirnya mencari pikiran atau jalan pendek muntuk memenhi kebutuhan hidupnya , sungguh sangat disayangkan memang, prostitusi kadang menjadi kehidupan yang selalu berjalan seiring dengan kehidupan sosial ataupun contoh sosiologi yang lain, kadang ada di suatun daerah atau Negara melegalkan prostitusi ataupun membantu kelancaran praktek prostitusi tersebut, faktornya keuntungan yang besar dan banyak cara menjalankan bisnis ini.

Sebagai umat beragama kita sadar jika praktek prostitusi ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran agama, semua agama mengatakan prostitusi itu tidak baik (haram).

          Banyak kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah. Revolusi Perancis berhasil mengubah struktur masyarakat feodal ke masyarakat yang bebas Gejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyaksikan betapa perubahan masyarakat yang besar telah membawa banyak korban berupa perang , kemiskinan , pemberontakan dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini. Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya. Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal. Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah.

Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk , munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan. Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh.