Jumat, 06 November 2009

Fenomenologi Sebagai Penelitian Kualitatif

“People actively interpret their experience and come to unnderstand the world by personal experience with it……the process of knowing through direct ecperience is the province of phenomenology.”
(Littlejohn and Foss, 2005)

Di Mulai dari Sebuah Kesadaran Intersubyektif

Hakekatnya prinsip fenomenologi berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, dunia intersubyektif (dunia kehidupan) atau juga disebut Lebenswelt terbentuk. Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial. (Rini Sudarmanti, 2005)

Dalam fenomenologi, setiap individu secara sadar mengalami sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada yang pada kemudian menjadi pengalaman yang senantiasa akan dikonstruksi menjadi bahan untuk sebuah tindakan yang beramakna dalam kehidupan sosialnya.

Manakala berbicara sesuatu yang dikonstruksi, tidak terlepas dari interpretasi pengalaman di dalam waktu sebelumnya. Interpretasi itu sendiri berjalan dengan ketersediaa dari pengetahuan yang dimiliki. Namun demikian, sebagai mana proses interpretasi, harus diperhatikan kemampuan menangkap lebih jauh atau melihat sesuatu lebih jauh (seeing beyond) dalam fenomena yang sedang dikonstruksi itu,

Fenomenologi Sebagai Tradisi Penelitian

Jika dilanjutkan dengan fenomenologi sebagai sebuah metodologi penelitian, walaupun ada juga yang lebih senang menyebut sebagi tradisi penelitian, maka kita dapat menelusuri beberapa pengertian yang sederhana. Metode Fenomenologi, menurut Polkinghorne (Creswell,1998: 51-52) adalah, “a phenomenological study describes the meaning of the lived experiences for several individuals about a concept or the phenomenon. Phenomenologist explore the structure of cosciousness in human experiences“. Sedangkan menurut Husserl (Creswell, 1998: 52).peneliti fenomenologis berusaha mencari tentang, “The essential, invariant structure (or essence) or the central underlying meaning of the experience and emphasize the intentionality of consciousness where experience contain both the outward appearance and inward consciousness based on memory, image, and meaning”.

Alasuutari (1995: 35) menyatakan bahwa, “…..phenomenology is to look at how the individual tries to interpret the world and to make sense of it”. Selanjutnya Husserl (Cuff and Payne, 1981: 122) menyatakan bahwa, “Phenomenology referred to his atempt to described the ultimate foundations of human experience by ‘seeing beyond ‘ the particulars of everyday experiences in order to describe the ‘essences’ which underpin them.” Menurut TD. Wilson dari Sheffield University London, dengan menggunakan pendekatan Schutz, secara lebih rinci menjelaskan, tujuan fenomenologi yaitu:

…is to study how human phenomena are experienced in consciousness, in cognitive and perceptual acts, as well as how they may be valued or appreciated aesthetically. Phenomenology seeks to understand how persons construct meaning and a key concept is intersubjectivity. Our experience of the world, upon which our thoughts about the world are based, is intersubjective because we experience the world with and through others.

Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran, dalam kognitif dan dalam tindakan-tindakan perseptual. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep kunci yang intersubyektif. Karena itu, menurut Kuswarno “…penelitian fenomenologis harus berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala…”

Logos Fenomenologi

Melakukan pemahaman terhadap fenomena melalui fenomenologi, mempertimbangkan mengetahui dua aspek penting yang biasa disebut dengan “logos”nya fenomenologi, yakni ‘intentionality’ dan ‘bracketing’. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, di mana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.

Aspek kedua ‘bracketing’ atau juga disebut reduksi phenomenology, dimana seorang “pengamat” berupaya menyisihkan semua asumsi umum yang dibuat mengenai sesuatu fenomena. Seorang pengamat akan berusaha untuk menyisihkan dirinya dari prasangka, teori, filsafat, agama, bahkan ‘common sense’ sehingga dirinya mampu menerima gejala yang dihadapi sebagai mana adanya.

Studi fenomenologi dalam pelaksanaannya memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998: 55) menjelaskan tantangan tersebut yaitu:

  • The researcher requires a solid grounding in the philosophical precepts of phenomenology.
  • The participants in the study need to be carefully chosen to be individuals who have experienced the phenomenon.
  • Bracketing personal experiences by the researcher may be difficult.
  • The researcher needs to decide how and in what way his or her personal experiences will introduced into the study.

Hakekatnya tantangan itu harus mampu duhadapi oleh seorang fenomenolog, penguasaan pada landasan filosofis dalam cara fikir fenomenologi, kemampuan memilih individu sebagai subyek yang mengalami yang akan dieksplorasi, kemampuan memelihara dan meningkatkan kemampuan logos fenomenologi, dan memilih serta memilah pengalaman bermakna yang dikonstruksi oleh subyek penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar