Minggu, 08 November 2009

Kontradiksi dalam praktek demokrasi

Ide awal Demokrasi

Demokrasi dalam pengertian klasik pertama kali muncul pada abad ke-5 SM di Yunani. Rakyat berkumpul pada suatu tempat, membahas pelbagai permasalahan kenegaraan secara langsung. Penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino. Sedangkan demokrasi dalam pengertian modern muncul pertama kali di AS. Prakteknya melalui perwalian aspirasi dari rakyat (demokrasi secara tidak langsung). Konsep demokrasi modern sebagian besar dipengaruhi oleh para pemikir seperti Marx, Hegel, Montesquieu dan Alexis de Tocqueville. Ada keterbatasan di kedua model demokrasi tersebut. Demokrasi langsung hanya bisa dilangsungkan pada negara kota. Demokrasi tidak langsung; tidak pernah mencerminkan kebebasan dan kehendak mutlak dari pemilik kedaulatan, yakni rakyat (mencoblos/memilih seseorang tidak sertamerta memilih suatu persoalan/kepentingan yang harus didahulukan menurut rakyat). Demokrasi langsung hanya menjadi mekanisme memperoleh kekuasaan. Keputusan berdasarkan suara mayoritas dalam demokrasi pada prakteknya tak berbeda dengan sistem totaliter. Sistem totaliter yang diperintah oleh kelompok minoritas dan dalam sistem demokrasi oleh kelompok mayoritas seringkali mengambil keputusan berdasarkan kepentingan minoritas (elit) atau pemilik modal di balik suara elit tersebut, tanpa ada jaminan bahwa kelaliman dalam demokrasi tidak akan terjadi pada kelompok dalam bentuk lain yang lebih halus. Sedangkan persamaan diantara keduanya adalah sama-sama menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan sarana menentukan kepentingan tertentu atas nama negara.

Industri Demokrasi

Demokrasi tidak memiliki standarisasi prinsip, etika dan norma hukum. Negara kampium demokrasi, seperti AS memiliki standar ganda dalam menerapkan praktek demokrasi. Karenanya Demokrasi seringkali menjadi ilusi tersendiri yang tidak pernah menghampiri tujuan utamanya. Malahan seringkali menjelma menjadi industri dengan berbagai kebutuhan dan implikasinya. Kekuatan uang menjadi penentu dari balik ide siapapun memiliki hak untuk dicalonkan dan mencalonkan. Partisipasi politik dalam demokrasi yang paling tinggi adalah mencari dan duduk dalam jabatan politik. Partisipasi ini menunjukkan siapa yang memiliki kekuatan uang, sementara partisipasi politik yang paling rendah adalah mencoblos (mengharapkan perubahan).
Oleh karenanya demokrasi hanya dapat dimengerti dalam konteks kapitalisme. Demokrasi menyeret suatu negara mendekati atau menjadi liberal. CB. Macpherson mengatakan demokrasi yang matang hanya ditemukan di negara-negara yang sistem ekonominya secara keseluruhan atau secara dominan terdiri dari perusahaan-perusahaan kapitalis. Tatanan demokratis tersebut harus mengakomodasikan diri dengan tempat yang telah disiapkan oleh masyarakat yang bekerja secara kompetitif secara individualis dan berekonomi pasar dan dengan bekerjanya negara liberal, yang melayani masyarakat tersebut dengan satu sistem kompetisi partai yang bebas meskipun tidak demokratis. Josep Schumpeter (1883-1950) mendefinisikan demokrasi sebagai suatu mekanisme untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, bukan suatu jenis masyarakat dan juga bukan seperangkat tujuan moral. Ia bersikeras mengatakan tak ada kandungan moral dalam demokrasi. Demokrasi adalah mekanisme pasar : para pemilih adalah konsumen; para politisi adalah wiraswastawannya. Sedangkan Anthony Downs, menggambarkan partai-partai dalam kehidupan politik demokratis adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan memberikan keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama. Karena kelompok-kelompok orang yang berbeda mencari jalan yang berlainan untuk mendapatkan dukungan dari massa, maka partai politik yang berbeda pun dibentuk dan masuk dalam kompetisi satu sama lain. Hal inilah yang membentuk pluralitas dalam demokrasi. Berbagai jenis perhimpunan, profesional ataupun politik dibentuk guna melakukan bisnis kompromi dengan pemerintah. Proses politik dalam demokrasi tidak pernah mengangkat kemauan yang asli ari apa yang dikehendaki oleh rakyat tetapi melalui cara-cara yang tepat sama dengan cara-cara periklanan komersial. Rakyat tidak mengangkat dan juga tidak memutuskan masalah-masalah, tetapi masalah-masalah tersebut yang membentuk nasib mereka. Kendati sistem pasar dalam pengertian liberal bercita-cita menciptakan keseimbangan, namun politisasi demokrasi menghasilkan ketimpangan; kekuatan uang menguasai sistem dan pasar suara tanpa ampun. Maka tak heran jika demokratisasi tidak pernah menghargai isi kepala rakyatnya, kecuali jumlah kepala (suara). Seringkali demokrasi berujung pada :

1. Menjadi instrumen penting menciptakan pragmatisme politik selanjutnya membentuk kapitalisme politik.
2. Dalam kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat mewakili kepentingan orang lain (legislatif).
3. Di Indonesia, di saat kelompok kepentingan adalah mayoritas tunggal (orde baru), berpandangan bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial, sehingga menjadikan kebijakan publik berwujud dalam peraturan untuk pengendalian sosial. Namun saat reformasi, kelompok kepentingan tersebut terdiri dari beberapa kelompok yang saling tergantung dan membutuhkan, maka kebijakan publik yang terwujud adalah kesepakatan atau hasil dari tawar menawar (cerminan kepentingan masing-masing kelompok). Paradigma ini selalu berujung pada kegagalan dalam menjawab persoalan kesejahteraan dan keadilan rakyat.

4. Rezim pemerintahan sah yang dibentuk oleh prosedur demokratis (pemilu) seringkali tidak memiliki kewenangan karena diambil alih oleh kekuatan uang internasional.

5. Tingginya partisipasi politik yang ada (pemilu) seringkali mengalami bias dengan praktek mobilisasi pemilih dengan berbagai latar motivasi, di antaranya primordialisme dan pragmatisme baik dilakukan oleh kelompok rasional maupun tradisional.

Demokrasi yang Tidak Demokratis?

AS sebagai the only super power akan selalu mempertahankan dominasi demokrasi dan kapitalisme. Apalagi setelah musuh kapitalisme (komunis) berhasil dikalahkan. Keinginan AS untuk tetap menjadi satu-satunya kekuatan dunia dimulai sejak George F. Keenan, menulis Long Telegram (dimuat dalam jurnal Foreign Affairs), dikenal dengan doctrine of containment, melahirkan strategi Perang Dingin yang dijalankan oleh AS Serikat saat berhadapan dengan Uni Soviet. Foreign Affairs juga bersama-sama dengan Fund for Peace, menerbitkan skenario berisi prediksi negara-negara yang gagal. Bisa jadi (di)runtuh(kan) dan (di)bubar(kan).
Negara-negara yang terletak di Afrika Barat dan berbatasan dengan Liberia, Guinea, Mali, Burkina Faso dan Ghana diprediksi akan mengalami kehancuran ekonomi, politik, dan mengalami kerusuhan massal yang berkepanjangan. Karenanya membutuhkan intervensi negara asing untuk menyelesaikan masalahnya. Dan yang merasa paling berhak adalah AS.

Selanjutnya, Republik Demokrasi Rakyat Congo, Sudan, diprediksi runtuh. Sudan adalah negara terbesar di benua Afrika. Berbatasan dengan Mesir di Utara, Eriteria dan Ethiopia di Timur, Kenya dan Uganda di Tenggara, Congo dan Republik Afrika Tengah di Barat Daya, serta Chad dan Libya di Barat Laut. Disebutkan, satu dari sekian penyebab runtuhnya Sudan adalah konflik sipil di Darfur dan terus merosotnya tingkat kesejahteraan sosial. Karenanya membutuhkan intervensi negara asing untuk menyelesaikan masalahnya (merasa paling berhak adalah AS?).

Irak telah diporak porandakan oleh AS. Disamping perang saudara yang masih terus berlanjut hingga sekarang. Baik antara Syiah dan Sunni maupun antara kelompok mujahidin dan pasukan yang pro pendudukan AS. Perlu digarisbawahi, pihak yang diuntungkan adalah negara-negara donor yang kelak menguras habis potensi alam Irak. Dan AS, menduduki negara peringkat pertama yang menanamkan modal besar untuk ditarik kembali setelah perang. Selanjutnya adalah Yaman disebut sebagai negara dengan indeks ancaman keamanan yang tinggi, pelayanan umum yang rendah dan pembangunan yang tidak merata. Bahkan Foreign Affairs menyebut Yaman sebagai negara yang kehilangan legitimasi dari rakyatnya sendiri. Sebelum Yaman, pada urutan ketujuh adalah Chad. Sama dengan Yaman, Chad juga diramalkan tak akan bertahan.

Afghanistan sama dengan Irak, negeri yang satu ini juga telah dihancurleburkan oleh serangan militer AS. Dan sama pula dengan Irak, ini adalah tanah yang kaya dengan minyak. Afghanistan tergolong negeri di Asia Selatan. Berikutnya Bosnia Herzegovina, Uzbekistan, Suriah, Pakistan dan Mesir. Uzbekistan adalah negara pecahan Uni Soviet yang memerdekakan diri pada tahun 1 September 1991. Dipimpin oleh Presiden Islam Karimov, sebuah rezim yang dekat sekali dengan AS Serikat dan pemerintahan George Bush. Karena itu, meski terjadi pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan, tak banyak badan internasional yang berani mengutak-atik Uzbekistan. Negeri Asia Selatan lain yang berada di ambang bahaya adalah Pakistan. Berbeda dengan Uzbekistan, meski sama-sama di ambang kehancuran, dunia internasional yang mau tidak mau harus disebut disetir oleh kepentingan AS, begitu was-was dengan ancaman pecahnya Pakistan. Dan lebih dianggap berbahaya lagi, sebab Pakistan memiliki potensi pengembangan nuklir. Libanon dan Mesir, adalah negara-negara berikutnya yang dihitung dan diprediksi akan hancur. Libanon, meski dengan beberapa alasan dianggap berada di garis aman, misalnya tekanan dari dalam negeri, pengungsi, pelanggaran HAM, ancaman keamanan terbilang cukup stabil, entah kenapa negara yang satu ini dinyatakan butuh intervensi pihak asing. Dugaan yang menguat adalah akomodasi pemerintahan Libanon pada kelompok mujahidin yang memberikan perlawanan pada Israel. Libanon adalah salah satu negara yang berbatasan langsung dengan Israel. Libanon dan Israel pernah bersengketa dalam perebutan Dataran Tinggi Gholan yang dicaplok oleh Israel.

Berbeda dengan Libanon, Mesir, meski disebutkan memiliki angka yang tinggi pada tekanan dalam negeri, pembangunan yang tak seimbang serta delegitimasi pemerintahan, Foreign Affairs tak menganggap negeri Piramida ini membutuhkan intervensi asing. Selanjutnya disusul Indonesia, lalu ada Tajikistan dan Turki, Azerbaijan dan Bahrain serta ditutup dengan Iran.
Indonesia, berada pada urutan ke-46 sebagai negara yang di ambang bahaya. Foreign Affairs mendata, tingkat delegitimasi pemerintahan Indonesia sangat tinggi, dengan angka 9.0. Begitu juga dengan kemungkinan disintegrasinya, lebih tinggi dari angka deligimitasi, angkanya 9.2. Artinya, kemungkinan Indonesia tercabik-cabik dan pecah cukup tinggi.
Sebuah laporan lain (sudah terjadi), yang ditulis oleh Kolonel Daniel Smith, dari Center for Defense Information, cikal bakal konflik yang mengantar pada disintegrasi di Indonesia setidaknya ada empat titik. Pertama di Aceh, Papua, Maluku, dan terakhir (tengah dirancang) di Sulawesi. Daftar kehancuran negara-negara ini nampaknya bukan sebuah studi, tapi sebuah rencana yang akan dilaksanakan tahap demi tahap. Bisa jadi, toh selama ini logika terbalik selalu terbukti.

Selain doctrine of containment, ada doktrin clash of civilization yang juga dijadikan kebijakan politik yang diputuskan dalam konvensi Platform Partai Republik George W Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Disamping unilateralisme AS dan statusnya sebagai the only super power harus dipertahankan. Doktrin clash of civilization sebenarnya lahir dari artikel yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam jurnal Foreign Affairs, berkantor di New York, telah berdiri sejak 1920. Semula artikel tersebut berjudul Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Doktrin ini menjadi prediksi (rencana) global tren 2020 yang dikeluarkan CIA yang memuat skenario yang mencoba menawarkan pilihan lain jika saja AS gagal mempertahan dirinya menjadi benteng terakhir kapitalisme. Yakni digantikan Cina atau India. Cina adalah negara Sosialis terbesar, setelah Uni Soviet runtuh yang menganut ekonomi pasar (adaptasi Sosialisme dengan Kapitalisme) meski secara politik tidak berubah. Kebijakan ini membuat Cina menjadi kekuatan besar dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.

Cina memiliki 4 faktor penyokong global power (kekuatan dunia): produk domestik bruto (PDB), populasi, anggaran pertahanan, dan inovasi teknologi . Populasi Cina mencapai 1,299 miliar jiwa. Produk domestik bruto Cina mencapai 6,436 miliar dolar (2004) dan diperkirakan akan menjadi 25,155 miliar dolar di tahun 2025, sementara Cina pada 2004 telah mengeluarkan 65,2 miliar dolar untuk memperkuat pertahanannya. Sebetulnya sudah lama AS memperkirakan kemajuan Cina. Perang Vietnam yang dilakukan oleh AS pada masa Presiden Nixon, memancing keterlibatan Cina dalam membela Vietnam, sehingga kelak bisa dijadikan sebagai justifikasi bagi AS untuk menggebuk Cina. Namun gagal. AS pun terus memprovokasi Taiwan agar melawan kebijakan satu Cina, Krisis nuklir Korea Utara juga dimaksudkan untuk membidik Cina. Terkait isu jaringan al-Qaedah di Asia Tenggara, atau Jamaah Islamiah, mendorong AS untuk menjadikan perairan di Selat Malaka sebagai zona bersama, dimana AS menjadi salah satu pengawasnya. Sementara itu, Konflik India-Pakistan, baik menyangkut isu perbatasan termasuk Kashmir, maupun isu nuklir, juga telah dijadikan justifikasi oleh AS untuk kepentingan yang sama. Dibandingkan era-era tahun sebelumnya (pasca Perang Dunia II), terjadi perubahan yang mendasar dalam pemerintahan AS, terutama kebijakan luar negeri. Di era 50-an hingga 90-an, komunis menjadi musuh utama AS. Sebagai akibatnya, AS harus bertempur di beberapa front: Perang Korea (1950-1953), Invansi Teluk Babi Kuba (1961), Krisis Rudal Soviet di Kuba (Oktober 1962), Perang Vietnam (1968-1975, dan Invasi Grenada (1983). Di samping, itu, AS harus memberikan bantuan kepada “our local friend“: Mujahidin di Afghanistan (1979-1997), Jenderal Pinochet yang mengkudeta presiden Chili berhaluan kiri, Salvador Allende (1973), rezim Jenderal Jorge Rafael Videla yang bertahan dari upaya kudeta oposisi kiri Argentina dalam “Dirty War” (1976-1983), pemberontak UNITA dan FNLA melawan rezim Marxis Angola (pertengahan 70-an hingga akhir 2002), monarki Nepal melawan kaum Maoist (1994), gerilyawan Kontra di Nikaragua (1983-1988), dan rezim-rezim kawasan segitiga AS Latin: El Salvador, Guetemala, dan Honduras.AS terus berusaha untuk melakukan berbagai manuver politik, termasuk di antaranya menghadirkan jumlah pasukan yang sangat besar di Timur Tengah. Donald Rumsfeld pernah menyatakan, bahwa pendudukan AS di Irak bukan untuk menggulingkan Saddan Hussen semata, tetapi untuk mengembalikan demokrasi di Irak. Sementra itu dalam laporan CIA pada 2020 menempatkan Islam sebagai kekuatan ideology lain, nampaknya hal ini didasari oleh perkembangan konstelasi politik Islam yang terus menguat, diantaranya : pertama, berdirinya imarah islam Afganistan yang dipimpin oleh Mullah Muhamad Umar, dengan gelar Amirul Mukminin al-Mullah Muhammad Umar Mujahid al-Hanafi al-Basytuni al-Qandahari al-Abadali al-Afghani, pada tanggal 31 Maret – 4 April 1996. kedua, Daulah Islam Kaukus, dideklarasikan pada 31 Oktober 2007, dipimpin oleh Dokka Umarov, meliputi wilayah kaukus Dagestan, Nokhchiycho (bekas Chechnya), Ghalghacho (bekas Ingushetia), wilayah Iriston (bekas Ossetia Utara). Wilayah Padang Nogay (meliputi bagian utara Chechnya, Dagestan dan distrik Stavropol), Kabarda, Bulkar dan Karachay. Ketiga, tegaknya Daulah Islam Irak yang didahului oleh terbentuknya Majelis Syura Mujahidin Iraq, yaitu : Tanzhim Al-Qaeda Iraq, Jaisy Thaifah Manshura, Saraya Anshor Tauhid, Saraya Jihad Islami, Saraya Al-Ghuraba, Kataib Al-ahwal, Jaisy Anshar al-Sunnah Wal Jama’ah dan Kataib Al-Murabithin, 15 Januari 2006 lalu. Belum lagi pernyataan-pernyataan Adnan Oktar (Harun yahya, pen) dalam buku-buku maupun artikel-artikel, media massa dan televisi menekankan pentingnya Turkish-Islamic Union (Kesatuan Islam Turki atau Uni Islam Turki) dan memberi kabar gembira bahwa kesatuan ini akan segera didirikan. Adnan Oktar berkata bahwa Uni Islam Turki tersebut akan membawa kedamaian, keamanan, kesejahteraan dan keadilan bagi wilayah tersebut dan seluruh dunia, dan menekankan bahwa Turki akan memainkan peran terdepan dalam Uni itu. Adapun wilayah Uni Islam Turki, diperkirakan meliputi : Federasi Rusia, Kazakhstan, Turki Saha, Yakutstan, Kesultanan Burma, India, Pakistan, Iran, Iraq dan Yordania. India berpenduduk 1 miliar. Lalu ada negeri-negeri Afrika
Secara retorik, alasan utama di balik seluruh kebijakan luar negeri AS Serikat yang intervensionis, adalah untuk mempromosikan demokrasi. Atas nama demokrasi, pemerintahan negeri Paman Sam, merasa berhak melakukan intervensi politik ke negara lain yang dipandang mengabaikan atau menciderai nilai-nilai dasar demokrasi. Berbagai penciptaan skenario dan doktrin politik AS kedepan sesungguhnya adalah upaya kebijakan "Promosi Demokrasi." Pada saat prediksi (rencana) ini akan dilangsungkan maka bukan mustahil kekuatan besar alternatif akan bangkit; di samping keangkuhan AS akan menjadi pelajaran : Demokrasi akan menjadi obsesi yang menakutkan dan menghancurkan bagi siapa pun yang hendak menegakkannya.

Demokrasi Menjelang Pemilu 2009

Memasuki pemilu 2009 popularitas SBY tidak terkejar. Penerapan strategi politik citra yang dimainkan menuai hasil yang gemilang. Hal ini bisa dilihat hasil survei mutakhir berbagai lembaga di dalam negeri yang menempatkan SBY pada posisi pertama. Dukungan hasil survey pencitraan yang diselenggarakan oleh lembaga internasional pun tak kalah hebat, seperti World Public Opinion (Suara Karya online, 22 Juli 2008), menempatkan SBY dalam urutan paling atas pemimpin Asia Pasifik yang paling bisa menyelesaikan persoalan dunia mengungguli PM Jepang Yasuo Fukuda (32 persen), PM Australia Kevin Rudd (31 persen), Presiden Korut Kim Jong-il (28 persen), PM India Manmohan Singh (21 persen), dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (19 persen).
Penerapan politik citra tak bisa dilepaskan dari fenomena pemilu legislatif 2004 yang berhasil menjadikan Golkar dan PDIP partai besar pemenang pemilu, tetapi pada saat sama menjadi antiklimaks: dominasi keduanya berakhir karena kedua partai tersebut gagal mengusung calonnya masing-masing dalam pemilihan presiden. Fenomena tersebut diyakini memberikan arti adanya pergeseran global politik Indonesia dari era massa ke era citra, dari kekuatan jumlah ke kekuatan persepsi, dari sesuatu yang riil ke sesuatu yang imaji.
Sayangnya, tingginya popularitas SBY tidak secara signifikan menimbulkan persepsi yang popular terhadap keberhasilan kepemimpinannya. Hasil survey Reform Institute (November 2008) menghasilkan persentase ketidak puasan masyarakat dalam pemenuhan terhadap sembako yang harganya semakin mahal. 63% masyarakat menganggap pemerintahan SBY gagal dalam pemenuhan kebutuhan atas sembako. Selain itu responden juga menyatakan kecewa terhadap pemenuhan kebutuhan atas kesempatan kerja yang dianggap tidak berhasil (61,4%). Kemudian hasil survey Puskaptis (Desember 2008), "Sebanyak 38,45% responden mengaku pemerintahan SBY-JK tidak akan sanggup menyelesaikan krisis karena masa pemerintahan SBY-JK tinggal beberapa bulan lagi. Namun, 35,46% responden menyatakan yakin SBY-JK dapat menyelesaikan krisis. Sisanya sekitar 26,11% responden menjawab tidak tahu.
Keberhasilan politik citra sangat didominasi oleh peranan mass media. Oleh karenanya patut juga diduga bahwa kemenangan politik citra SBY tak terlepas dari dukungan sistematis jaringan media massa yang dikendalikan secara politis (silent revolution), baik nasional maupun internasional oleh kekuatan keuangan tertentu. SBY juga mempunyai peta kekuatan sebagai incumbent yang memegang kekuasaan, tiap kebijakan yang dinilai positif oleh masyarakat secara otomatis akan menaikkan elektabilitasnya. Beberapa aspek rasional yang dinilai positif mencakup kepuasan atas kinerja pemerintah, kondisi politik, keamanan, penegakan hukum, ekonomi nasional, program pemberantasan korupsi, program sosial meliputi bantuan langsung tunai, dana biaya operasional sekolah, dan penurunan harga bahan bakar minyak.

Strategi politik citra SBY ternyata tidak berjalan sendirian. Kepungan iklan politik di semua kota di Indonesia, menjadi indikasi bahwa setiap pihak yang berkepentingan mencalonkan diri dalam pemilu 2009 menganggap politik citra melalui iklan politik menjadi sarana yang cukup ampuh untuk mengangkat popularitas. Contoh, Wiranto dengan isu kemiskinan, Prabowo dengan isu pertanian dan produk lokal, Sutrisno Bachrir dengan hidup adalah perbuatan. Iklan politik lebih dianggap cara yang mudah dan cepat untuk membentuk opini. Kekuatan uang dalam iklan politik telah mengaburkan track record pihak-pihak yang nyata-nyata mengalami krisis moral, terutama kasus korupsi. Kitapun lebih banyak mengenal calon-calon pemimpin bangsa ini melalui iklan daripada pokok pikiran, gagasan dan track recordnya.

Sementara itu, kekuatan liberal, diantaranya di sektor hulu (upstream) semakin merajalela, melalui kekuatannya pada UU Migas no 22 tahun 2001. (Undang-undang yang draftnya dibuat oleh AS melalui lembaga bantuannya USAID dan Bank Pembangunan Asia semakin memantapkan liberalisasi di sektor hulu) menyebabkan hilangnya kontrol pemerintah terhadap kebutuhan mendasar masyarakat, seperti BBM, elpiji, bahkan pupuk di kalangan petani. Konteks politik ekonomi laissez faire yang diterapkan pemerintah, menjadikan pemerintah memandang permasalahan pertumbuhan ekonomi sebagai permasalahan utama dibandingkan permasalahan kemiskinan, pengangguran, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, dan pemerataan kesejahteraan. Politik ekonomi ini menempatkan aspek material lebih tinggi dibandingkan aspek kemanusiaan, sehingga tidaklah aneh masalah peningkatan produksi dan distribusi BBM dengan cara menarik investor asing lebih diperhatikan pemerintah dibandingkan masalah mahal dan langkanya harga BBM dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Memasuki pemilu 2009, kekuatan elit politik dapat mempengaruhi peta kekuatan liberal dan sebaliknya, kekuatan liberal dapat mempengaruhi peta politik menjelang pemilu (bukan rakyat sebagai pihak yang berdaulat).
Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol dan pemilu 2009 sebenarnya cukup tinggi, terlihat dari putaran Pilkada yang diselenggarakan hingga 2008 lalu, rata-rata golput mencapai 30-40%. Karena bukan menjadi suatu rahasia kalau kekuatan politik menjelang Pemilu 2009 dibangun melalui upaya pemenangan dalam Pilkada yang sarat dengan politik uang, khususnya di tingkat kabupaten dan kota. Berjalannya demokrasi yang sarat dengan krakteristik transaksional selanjutnya ditandai dengan fenomena tak ada adanya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang tetap untuk di usung menjelang pemilu 2009 dalam berbagai konsolidasi parpol sebelum pemilu legislatif. (Gerindra memiliki 8 calon Presiden, PDIP merekomendasikan 2 calon Wakil Presiden, Golkar belum memiliki calon sama sekali). Partisipasi politik partai tidak terlalu peduli dengan ideologi partai. Orientasi parpol menjelang pemilu 2009 lebih kepada kalkulasi cost and analysis benefit koalisi bukan kepada orientasi kepentingan rakyat. Akibatnya proses politik tidak mampu mengangkat aspirasi dan kepentingan rakyat secara baik ditengah interaksi politik yang terjalin melalui iklan-iklan komersial dalam kerangka membangun citra (terutama partai-partai kecil) dan pembangunan aliansi-aliansi taktis elitis.
Tak akan ada partai pemenang pemilu 2009 tanpa koalisi. Partai berbasis nasionalis kerakyatan besar kemungkinan akan berkoalisi dengan partai borjuis. Partai berbasis Islam tradisionalis/modern besar kemungkinan juga akan berkoalisi dengan partai sekuler maupun sosialis. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Semua pergeseran itu agaknya diperuntukkan bagi upaya perolehan suara, bukan pada pengangkatan substansi kepentingan rakyat. Bisa dipastikan pemilu 2009 belum berjalan diatas sebuah kesadaran kepentingan berbangsa. Hampir semua pihak yang berkepentingan dengan kekuasaan dalam pemilu 2009 mencoba “bermain dan memainkan” kepentingan rakyat dalam kerangka membangun citra dan merebut simpati rakyat.

62 hari menjelang pemilu, kesiapan MK untuk mengantisipasi (mengeluarkan aturan) keputusan yang diambilnya, terkait suara terbanyak belum ada. Penetapan hasil pemilu (terutama legislatif) ditetapkan dengan suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut partai. Dalam mekanisme pemilihan, dimana pemilih boleh mencoblos atau memberi tanda contreng pada gambar partai atau caleg, maka jika terjadi hasil pemilihan yang sah terhadap partai, kemanakah suara tersebut akan diberikan? Berlarutnya kondisi ini tanpa kepastian akan menimbulkan titik rawan konflik pada perhitungan suara. Dan jika kondisi ini memang menjadi kepastian, patut diduga disengaja diciptakan dalam kerangka menciptakan cela pemanfaatan kepentingan-kepentingan tertentu untuk bermain. Secara umum, menjelang pemilu 2009 demokrasi yang berjalan di Indonesia dicirikan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Dipenuhi dengan anarkisme dalam penyampaian pendapat, kasus yang masih hangat adalah tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat di tengah aksi massa menuntut pembentukkan Provinsi Tapanuli.

2. Kebebasan yang kebablasan. Semua ingin bebas berekspresi dan berpendapat, namun tidak perduli apakah kebebasan itu itu menggangu dan merusak pihak lain.

3. Pragmatisme politik yang sudah diluar batas kewajaran. Proses politik berjalan dengan dorongan utama money politik. Disamping masyarakat pemilihpun lebih menyukai (sadar) berjalan diatas pragmatisme politik jangka pendek serta primordial pragmatis.
4. Interaksi dan pendidikan politik dijalin melalui dominasi kekuatan kapital dengan iklan politik. Akibatnya sebagian besar elit politik yang akan dipilih dan akan mengurus negara ini dikenal pemilih karena iklan komersial politik bukan karena gagasan nyata, pokok pikiran, perilaku, moralitas dan tanggungjawab sosialnya yang kongkrit.

Membaca Kelemahan Negara Diantara Bom Mega Kuningan dan Konflik Papua

Tujuan Teror?

Kekacauan itu bermula ketika ICP Breakfast Roundtable yang dihadiri oleh sebagian besar WNA petinggi perusahaan minyak dan gas terpaksa “dihentikan” oleh hantaman bom. Kelihatannya peledakan ini memang ditujukan kepada para petinggi perusahaan minyak dan gas tersebut, pada Jumat (17/7/2009) pukul 07.47 WIB. Meluluhlantakkan JW Lounge, Hotel JW Marriott dan sepuluh menit kemudian menghantam Ritz Carlton. Korbanpun berjatuhan, diantaranya GM Anadarko Indonesia Co Gary ford dan Kevin S. Moore yang menjabat sebagai GM Husky Oil North Sumbawa LTD, David Potter dari Freeport Indonesia dan Presdir PT Holcim Timothy Mackay (meninggal dunia). Tidak sedikit pula orang Indonesia yang menjadi korban.

Pasca teror bom, muncul “dua ledakan opini” yang menggetarkan dan membuat ”panas Jakarta”. Pertama, pernyataan SBY yang “membombardir” lawan-lawan politiknya dengan mengaitkan peledakan bom dengan Pilpres; yakni upaya menggagalkan SBY menjabat kembali menjadi Presiden terpilih dan sinyalemen adanya upaya “pendudukan” KPU. Alhasil, wacana kecurangan pilpres mendadak berhenti sesaat setelah disinyalir jutaan daftar pemilih tetap adalah fiktif. Selanjutnya tabulasi Pilpres dilanjutkan dengan data mirip quickcount. Kedua, wacana yang dimunculkan oleh Sekjen Asean: perlunya peningkatan peran Asean dalam menangkal terorisme, mengundang kecurigaan terbukanya peluang wilayah Indonesia dijadikan teritori pengawasan “Asean Joint Army”. Sebagai conditioning negara-negara Asean mengamankan kekuasaan kolektif mereka atas wilayah dan sumber daya RI pasca ditandatanganinya Piagam Asean oleh SBY. Piagam ini bertujuan menjadikan Indonesia bersama negara lainnya di Asia Tenggara membentuk pasar bersama dalam tonggak neoliberalisme. Dimana Kedaulatan pasar dengan logika keuntungan akan berdampak pada tereduksinya rakyat oleh segelintir penguasa dan sekaligus pengusaha (kolonialisme gaya baru). Ingat, di arena AFTA (lapangan neolib) kekuatan suara Republik Indonesia (sebagai pemilik terbesar pasar, tenaga kerja, lahan hutan, laut, agro) hanya 1/6 sama rata dengan ke 6 negara AFTA lain penikmat pasar dan produc base Indonesia. Ini menjelaskan kedaulatan dan penguasaan asing atas pasar dan SDA kita. Sementara itu, di Papua terjadinya konflik bersenjata yang terus berlangsung hingga kini adalah gambaran upaya “melemahkan” kekuatan rakyat sipil yang berada di sekitar areal dan lokasi sasaran investor. Seringkali penanaman modal investasi ke Tanah Papua tanpa dukungan instrumen hukum yang bijak dan menguntungkan rakyat. Pemerintah cenderung mengutamakan kebijakan nasional yang menguntungkan investasi produk kaum neoliberal. Terbukti selama ini kekayaan alam hanya di keruk dan menguntungkan negara lain dan meningggalkan bencana ekologi dan kemanusiaan hingga keterpurukan demokrasi. Salah satunya wilayah konflik Mamberamo, daerah ekspansi baru investasi yang pembukaannya dimulai dengan hal buruk bagi rakyat setempat. Ada banyak rencana di daerah ini; CI (Conservation International) asal Amerika, yang sudah terpasang kuat kakinya di Teluk Cendrawasih dan Raja Ampat lewat project conservasi (CTI). Bahkan mereka sudah membeli areal HPH disitu.
Awal investasi asing adalah penambangan emas dan tembaga yang dilakukan Freeport McMoran Gold & Copper di Papua, 1960 sebagai kebijakan politik yang bertujuan memperoleh dukungan AS dan imperialis global. Dan kini melalui “pemberian hutang kepada Indonesia” investasi itu berlanjut dengan “tekanan” dimana negeri ini mesti mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan mudah diakses oleh modal asing. Sikap politik inilah yang menimbulkan konflik tiada henti antara rakyat Papua yang sadar tergadainya hak-hak politiknya dengan pemerintah Indonesia yang tamak, serakah dan lebih mementingkan modal asing. Karenanya negara-negara Barat, terutama Amerika masih mendukung Papua berada dalam NKRI.
Adanya kebijakan Otonomi Khusus bagi rakyat Papua – sebagai jalan keluar dari konflik yang dikeluarkan pemerintah Indonesia sesungguhnya paket politik neo-liberal titipan IMF dan Bank Dunia. Bagi para pemilik modal asing kebijakan Otonomi Khusus memberikan dampak positif dan jaminan bagi kelangsungan eksploitasi. Bahkan memudahkan cengkeramannya tanpa harus melalui Jakarta. Bukan tidak mungkin, jika Otsus dijalankan dengan tepat berdasarkan keinginan imperialis global, maka Papua akan menjadi primadona eksploitasi modal asing pada masa-masa yang akan datang. Hal ini menyebabkan Eskalasi konflik yang terjadi di Papua terkait dengan kompleksitas masalah-masalah konflik di masa lalu belum terpecahkan. Terutama masalah kesenjangan dan ketidakdilan yang diakibatkan oleh sentralisasi pembangunan yang berlangsung selama ini akibat investasi asing. Termasuk masalah separasi, atau kelompok OPM juga terkait dengan resistensi dan gerakan politik menuntut keadilan sosial ekonomi dengan tuntutan sangat beragam di masyarakat Papua. Dari uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa Indonesia sebagai sub-ordinat kapitalisme global sangat rentan terhadap aksi kekerasan. Apalagi pasangan SBY-Budiono identik dengan Amerika (beberapa media belakangan ini mengungkap rencana dalam sebuah dokumen yang disita di Banjarmasin pada 9 Mei 2009, akan melakukan serangan membajak pesawat dan menabrakkan sebagai serangan bunuh diri ke gedung tertinggi di Jakarta, yang jika terjadi mengandung pesan bahwa Indonesia seperti juga Amerika sebagai wilayah target serangan) Teror bom maupun aksi-aksi teror lokal lainnya, seperti di Papua sebenarnya memiliki “benang motif” diluar spirit/keagamaan. Jika kita mau keluar dari stereotype berpikir yang “tersedia atau disediakan” (oleh kepentingan neolib), terutama indikasi radikalisasi gerakan tertentu Islam yang saat ini tengah “dicarikan” faktanya. Motif economic rivalry pada daya survival neolib yang “membutuhkan” korban sebenarnya dapat menjadi mozaik tersendiri dalam menangani masalah teror yang terjadi. Sudah lama kita tahu, pemerintah Indonesia selalu di desak (tanpa mampu melawan) menerapkan investasi di Papua dan Indonesia. Agenda investasi yang dicanangkan berada dibawah todongan IMF, WTO, ADB dan USAID. Proyek-proyek raksasa yang ber-investasi di sebagian wilayah Papua melegitimasi penciptaan malapetaka konflik dan teror.
Meledaknya bom di Mega Kuningan dan konflik di Papua menjadi rangkaian kelemahan negara dari berbagai ketidakmampuan lainnya, seperti masalah TKI yang berpotensi menjadikan orang Indonesia “budak” di negeri orang; beralihnya sumber daya pembangunan milik hajat hidup rakyat kepada pihak asing. Dalam konteks ini economic rivalry lebih masuk akal daripada motif ideologis atau spirit keagamaan. Bom mega kuningan diakui mejadi persoalan global dalam menghadapi terorisme. Namun juga mesti diingat konflik Papua bukan melulu konflik politik domestik Indonesia. Tanah Papua, dengan sumber daya alam yang melimpah, mengundang begitu banyak pihak melakukan eksploitasi ekonomi sejak tahun 1960-an. Negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia adalah pihak-pihak luar yang dalam lima dekade terakhir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung atas berbagai soal yang muncul di Papua karena kepentingan eksplotasi sumber-sumber ekonomi melalui strategi memberikan hutang kepada Indonesia. Neoliberal akan selalu merayu Indonesia agar hidup dalam jeratan hutang. Regulasi investasi, yaitu membuat peraturan yang membuat investor nyaman berinvestasi seperti intensif pajak, membangun iklim investasi yang kondusif yang berarti keamanan yang terjamin, serikat buruh yang "ramah" serta sistem tenaga kerja yang fleksibel. Dari hal-hal tersebut tidak ada bukti lain yang membuat kita ragu bahwa pemerintahan yang telah berkuasa selama ini adalah pemerintahan yang semata-mata tunduk pada kepentingan kaum modal serta menjalankan agenda neoliberal di Indonesia.
Kebijakan penerapan pemberian utang berkedok bantuan luar negeri berupa proyek pembangunan maupun program kebijakan seringkali digunakan sebagai kontrol ekonomi dan politik negara maju terhadap negara penerima bantuan, hal ini dapat dilihat dari penerapan kebijakan Bank Dunia yang cenderung mendorong deregulasi, pencabutan subsidi ranah publik, perluasan pasar bebas, non proteksi, liberalisasi perbankan,regulasi dan liberalisasi briokrasi dan konstitusi (berbungkus program good governance).
Hutang adalah bukti konkrit adanya hegemoni neoliberalisme yang memberikan dominasi keuntungan negara-negara maju terhadap negara berkembang dan dunia ketiga dalam relasi ekonomi politik internasional. Negara-negara maju menggunakan lembaga Internasional (unholy trinity) seperti dalam bidang investasi pembangunan dunia melalui kedok Bank Dunia (World Bank), bidang keuangan moneter internasional dengan IMF dan bidang perdagangan melalui World Trade Organization (WTO). Hal ini dapat dilihat misalnya dari struktur keanggotaan dalam 184 negara anggota Bank Dunia, 150 negara berkembang di antaranya hanya memiliki kekuatan suara 33 persen. Sementara itu 34 negara maju di dalamnya memiliki kekuatan suara sebesar 67 persen suara hal ini menunjukkan dominasi struktur kepemilikan saham Bank Dunia, maka tidaklah mengherankan kebijakan yang lahir dari Bank Dunia, tidak lebih laksana koorporasi raksasa yang melahirkan kebijakan ”memfasilitasi” kepentingan pemegang saham terbesar. Mulai dari struktur kebijakan hingga penunjukan perusahaan rekanan Bank Dunia yang memiliki afiliasi terhadap negara maju.

DiLemahkannya Peran Negara?

Terlepas dari demokratis atau tidak, peran dasar negara adalah memberikan proteksi, kesejahteraan, hukum dan keadilan bagi warganya. Lemahnya peran negara dalam menjalankan ke-empat fungsinya tadi, menyebabkan perubahan struktural, aparatur dan kebijakan nyaris tidak menyentuh substansinya. Kecuali pergantian kekuasaan tiap lima tahun sekali, itupun peruntukan kekuasaan untuk rakyat (demokrasi) seringkali menjadi bias. Saat ini rasanya kalangan neolib lah yang menentukan bagaimana bentuk proteksi, kesejahteraan, hukum dan keadilan di Indonesia. Sebagai prosedure decision making, demokrasi adalah pilihan yang terbaik bila syarat kulturalnya dipenuhi: sebagai suatu cara baik-buruknya demokrasi ditentukan dari manfaatnya bagi bangsa: membawa kemaslahatan atau tidak? Le Kuan You menegaskan bahwa kemakmuranlah yang diperlukan bangsa singapura bukan demokrasi. Mayoritas bangsa China jika menggunakan demokrasi pasti tidak akan semaju sekarang ini. Dengan mainstream ini, kita saksikan kontestan pemilu di Indonesia (partai/individu/caleg/capres) berspirit opportunist. Demokrasi justru menjauhi harapan rakyat dan mengorbankan bangsa dan negara dengan kian terbukanya intervensi dan interest asing. Mungkin negeri ini memerlukan benevolance dictator ship. sayangnya selama 64 tahun merdeka , Republik Indonesia dipimpin oleh "maling" (diktator maupun demokrat).
Mari kita lihat otoritas DPR,Yudikatif dan Birokrat yang seringkali menjadi komoditas transaksional (diperjual-belikan). Seluruh produk otoritas lembaga tadi akan dikendalikan oleh siapapun yang bisa membelinya (untuk kepentingan si pembeli, baik domestik maupun asing), tergantung kecocokan harga. secara hakikat komoditi yang diperjual belikan adalah kepentingan bangsa (termasuk kepentingan anak cucu kita). Dipemilu 2009 mereka sudah habis-habisan investasi (baik legislatif maupun presiden). Begitu memiliki legitimasi (legitimed) mereka akan segera berusaha mengembalikan investasinya dengan memasarkan otoritasnya kemana-mana. Biasanya akses ke pasar - otoritas sudah dijalin sebelumnya. Kondisi ini telah berlangsung sejak dulu dan pada pemilu 2009 semakin menggila. Rakyatlah yang harus menanggung semua kumulatif ini. sejarah bercerita bahwa mainstream bangsa ini tak pernah berseberangan dengan kekuasaan, meski kekuasaan itu adalah symbol dari penindasan, ketidakadilan atau kejahatan. Driving force dinamika politik yang terjadi bukan perlawanan atas penindasan itu, tetapi perebutan untuk bisa dapat posisi di tatanan yang menindas dengan motif untuk mendapatkan bagian yang sebesarnya-besarnya dari penindasan dan ketidakadilan yang sedang dirancangnya. hasil pemilu 2009 adalah refleksi dari dinamika di atas.Penghisapan Neoliberal terhadap Indonesia

Kapitalisme global menawarkan kombinasi kesejahteraan material dari ekonomi pasar dengan kebebasan politik dan budaya dari demokrasi liberal. Akan tetapi modernitas liberal Barat ini sulit diterapkan banyak masyarakat di berbagai belahan dunia. Bahkan tidak jarang upaya sebuah negara untuk menerapkan asas-asas ekonomi pasar dan demokrasi liberal tersebut menghasilkan benturan dan persoalan baru. Benturan yang terjadi memunculkan fenomena ancaman terorisme sebagai permasalahan yang muncul sebagai hasil dari penyebaran asas-asas kapitalisme dan demokrasi liberal Barat tersebut. Kapitalisme dan demokrasi liberal memunculkan kecenderungan desentralisasi dalam konteks federalisme. Bagi kaum imprialis, desentralisasi dianggap akan mendekatkan sumber informasi lokal agar lebih responsif pada lingkungannya, kompetitif dan inovatif di antara unit-unit lokal tersebut. Pemerintah akan lebih dekat dan terjangkau oleh rakyat dalam konteks pelayanan dan meningkatkan pertanggungjawaban, legitimasi serta kualitas dari demokrasi. Kenyataannya, upaya pendelegasian wewenang dari negara ke pemerintahan lokal seringkali bermakna pada penguatan elit-elit lokal dan jaringan patronase yang memungkinkan mereka memelihara kontrol atas urusan mereka sendiri, terhindar dari evaluasi eksternal. Di di Indonesia, upaya untuk menyebarkan otoritas ke pemerintahan lokal, malah berujung pada peningkatan kesempatan korupsi hingga ke seluruh eselon.

Disisi lain, Imprialisme dan neolib juga melakukan kontrol ekonomi dan politik atas wilayah dan masyarakat lain, baik dengan kekuatan militer maupun dengan cara-cara yang lebih halus. Kebijakan dan praktik negara untuk memperluas kekuasaan dan dominasi, sering kali menggunakan cara-cara ekonomi. Apresiasi terhadap hakekat kapitalisme sebagai sistem dunia dimana negara pusat memanfaatkan kekuasaan atas wilayah pinggiran, saling untuk memperoleh pengaruh dan kontrol, dan bekerjasama untuk menjadi yang terbaik, dengan menggunakan cara apapun.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, karakteristik kapitalisme yang utama adalah mereduksi peran negara atau pemerintah. Sebagai respon dari trend ini IMF, Bank Dunia dan Amerika Serikat, memberikan tekanan pada pengurangan tingkat campur tangan negara dalam urusan ekonomi, dalam bentuk sebuah paket yang diberi label “Washington Consensus” yang diformulasikan atas asumsi “neoliberalisme”. Logika dari consensus ini terletak pada keberadaan sektor negara di banyak negara berkembang di dalam banyak kasus merupakan hambatan bagi tercapainya pertumbuhan dan persoalan ini hanya dapat diselesaikan melalui apa yang mereka sebut sebagai liberalisasi ekonomi. Namun kenyataannya, upaya liberalisasi ekonomi ini tidak membuahkan hasil seperti yang dijanjikan. Ketiadaan sebuah kerangka kerja institusional dari dimensi negara atau pemerintah di banyak negara, malah menghasilkan kehancuran setelah liberalisasi dilakukan. Hegemoni kebijakan ekonomi politik Negara maju melalui lembaga Internasional, cenderung memiskinkan rakyat negara dunia ketiga. Beban pembayaran Utang dan dampak liberalisasi dan pencabutan subsidi ranah public sector rakyat bawah seperti liberalisasi pendidikan, privatisasi), jasa (kesehatan dan pendidikan) dan liberalisasi pertanian menyebabkan pemiskinan terjadi semakin progresif. Pemiskinan ini didorong terhadap ketergantungan dan hegemoni Negara-negara maju yang dikondisikan dalam struktur sistem kebijakan Negara dunia ketiga yang tidak lagi pro terhadap rakyat, dan peran Negara sekedar fasilitator tidak lagi sebagai regulator yang proteksionis (mensejahterakan).Kebijakan Moneter internasional yang dilakukan oleh IMF pada krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 90’an, terutama di Indonesia membuktikan peran-peran negara maju (Amerika, Uni Eropa dan Jepang sebagai pemegang saham mayoritas IMF) memberikan resep ”mujarab” yang mematikan: Pertama, pengurangan secara radikal pengeluaran pemerintah atas biaya kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (pemotongan subsidi). Kedua, privatisasi dan deregulasi perusahaan-perusahaan negara. Ketiga, devaluasi mata uang. Keempat, liberalisasi impor dan menghaspuskan hambatan-hambatan yang membatasi investasi asing. Kelima, memangkas upah dan menghapuskan atau melemahkan mekanisme-mekanisme perlindungan tenaga kerja. Selama lebih dari satu generasi, kecenderungan politik dunia adalah melemahkan peranan negara. Kecenderungan ini berasal dari alasan-alasan ekonomi dan normatif. Keberadaan negara-negara yang terlalu kuat dan agresif telah menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan disfungsi dan inefisiensi. Karenanya, muncul kecenderungan untuk mengurangi ukuran dan sektor negara dan mengalihkannya kepada pasar atau kepada fungsi civil society. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi global telah mengikis otonomi dari negara-bangsa seiring dengan meningkatnya mobilitas informasi, modal, dan tenaga kerja. Akibatnya, muncul gagasan untuk mengurangi ruang lingkup negara-bangsa. Dalam konteks ini, Indonesia dalam posisi yang lemah di dalam peta ekonomi politik Internasional yang didominasi oleh interest conflict (state actor), interest capital and profit Multi National Corperations (MNC’s) hingga non state actor lainnya (NGO’s dan interest players). Relasi ekonomi politik internasional berjalan dalam bentuk kebijakan penerapan pemberian utang berkedok bantuan luar negeri berupa proyek pembangunan maupun program kebijakan yang seringkali digunakan sebagai kontrol ekonomi dan politik negara maju terhadap negara penerima bantuan terhadap upaya mendorong deregulasi, pencabutan subsidi ranah publik, perluasan pasar bebas, non proteksi, liberalisasi perbankan,regulasi dan liberalisasi briokrasi dan konstitusi (berbungkus program good governance).
Kini, setelah puluhan tahun mengenyam keberhasilan dalam mengusung dan memaksakan agenda-agenda neoliberalisme ke berbagai penjuru dunia hingga menjadikan neoliberalisme bermetaforsa menjadi neo-imperialisme, rupanya kedigdayaan sistim neoliberalisme akhirnya roboh juga. Akhir-akhir ini dunia menyaksikan proses robohnya neoliberalisme yang nampaknya hampir tak terelakkan lagi dengan adanya krisis keuangan di AS beberapa waktu lalu. Krisis keuangan kali ini merupakan krisis terburuk dalam sejarah perekonomian neoliberalisme yang dianut dan dipuja oleh negeri paling adidaya di kolong jagat ini. Krisis finansial yang meluluhlantakkan Wall Street bermula pada Juli 2007, ketika pasar saham dunia bergejolak akibat kredit macet secara massal di sektor perumahan (subprime mortgage). Beberapa bulan kemudian, sejumlah raksasa finansial AS, antara lain, Bear Stearns, Northern Rock, Fannie Mae, Freddie Mac, dan terakhir bank investasi terbesar keempat di AS Lehman Brothers, bertumbangan satu-persatu. Beberapa perusahaan keuangan lainnya, Seperti Merrill Lynch, AIG, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley, juga terancam bangkrut dalam waktu dekat ini.Ironisnya, tindakan penyelamatan yang ditempuh dengan menggelontorkan dana talangan US $700 miliar atau sekitar Rp 6.440 triliun, justru mengingkari prinsip dasar sistim neoliberalisme, yang berkaitan dengan peniadaan intervensi pemerintah. Demikian juga dengan kebijakan untuk mensuspen aktivitas pasar modal yang dilakukan hampir secara serentak oleh pemerintah di berbagai negara pemuja neoliberalisme, termasuk di pasar modal Indonesia, semakin mengindikasikan bahwa sesungguhnya sistim neoliberalisme sangat rapuh.Robohnya sistim neoliberalisme, yang justru bermula dari lumbungnya di AS, seharusnya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi para pemimpin pemimpin di Indonesia. Hendaknya para pengambil kebijakan agar tidak terlalu membabi-buta dalam penerapan sistim neoliberalisme dalam merumuskan kebijakan ekonomi di Indonesia. Barangkali, robohnya neoliberalisme merupakan momentum yang tepat bagi pemimpin Indonesia untuk lebih menekankan pada penerapan sistim ekonomi kerakyatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan martabat rakyat.Sementara itu, masalah utama yang dihadapi oleh negara-negara miskin dalam pembangunan ekonomi adalah ketidakberhasilan pembangunan institusi. Ketidakberhasilan ini sejalan dengan tekanan yang diberikan Amerika agar tidak membangun negara yang terlalu luas dan besar peranannya, tetapi membangun negara yang kuat dan efektif dalam ruang lingkup yang terbatas dari fungsi-fungsi negara yang dibutuhkan. Upaya untuk memperkuat negara-negara ini melalui beragam bentuk nation-building merupakan tugas yang sangat vital bagi keamanan internasional. Padahal sudah saatnya, kita mencoba menghadang kerakusan neoliberal-kapitalis dengan penguatan kapasitas Negara (state building). Kebangkitan dan pembebasan dari Rezim internasional dan subordinasi Imprialisme mesti dibendung dengan nasionalisme demokratik popular, bukan sekedar nasionalisme elitis yang sarat dengan basa basi dan jargon. Upaya pembelajaran untuk membangun negara secara lebih baik sangat penting bagi masa depan tatanan dunia. Di sisi lain, ketidakpastian akan entitas atau unit politik apakah yang akan menggantikan kekuatan kedaulatan negara-bangsa di dunia kontemporer, membuat kita tidak punya pilihan kecuali untuk kembali kepada kedaulatan negara-bangsa dan mencoba untuk memahami konsep ini sekali lagi, serta mempelajari cara mengenai bagaimana untuk memperkuatnya, namun bukan dalam pengertian bukan hanya semata kekuatan militer.

Oleh : Ikhsan Ahmad.

Penulis : Staf Pengajar Tetap pada Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA BANTEN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar