Kontradiksi dalam praktek demokrasi
Ide awal Demokrasi
Demokrasi dalam pengertian klasik pertama kali muncul pada abad ke-5 SM di Yunani. Rakyat berkumpul pada suatu tempat, membahas pelbagai permasalahan kenegaraan secara langsung. Penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino. Sedangkan demokrasi dalam pengertian modern muncul pertama kali di AS. Prakteknya melalui perwalian aspirasi dari rakyat (demokrasi secara tidak langsung). Konsep demokrasi modern sebagian besar dipengaruhi oleh para pemikir seperti Marx, Hegel, Montesquieu dan Alexis de Tocqueville.
Industri Demokrasi
Demokrasi tidak memiliki standarisasi prinsip, etika dan norma hukum. Negara kampium demokrasi, seperti AS memiliki standar ganda dalam menerapkan praktek demokrasi. Karenanya Demokrasi seringkali menjadi ilusi tersendiri yang tidak pernah menghampiri tujuan utamanya. Malahan seringkali menjelma menjadi industri dengan berbagai kebutuhan dan implikasinya. Kekuatan uang menjadi penentu dari balik ide siapapun memiliki hak untuk dicalonkan dan mencalonkan. Partisipasi politik dalam demokrasi yang paling tinggi adalah mencari dan duduk dalam jabatan politik. Partisipasi ini menunjukkan siapa yang memiliki kekuatan uang, sementara partisipasi politik yang paling rendah adalah mencoblos (mengharapkan perubahan).
Oleh karenanya demokrasi hanya dapat dimengerti dalam konteks kapitalisme. Demokrasi menyeret suatu negara mendekati atau menjadi liberal. CB. Macpherson mengatakan demokrasi yang matang hanya ditemukan di negara-negara yang sistem ekonominya secara keseluruhan atau secara dominan terdiri dari perusahaan-perusahaan kapitalis. Tatanan demokratis tersebut harus mengakomodasikan diri dengan tempat yang telah disiapkan oleh masyarakat yang bekerja secara kompetitif secara individualis dan berekonomi pasar dan dengan bekerjanya negara liberal, yang melayani masyarakat tersebut dengan satu sistem kompetisi partai yang bebas meskipun tidak demokratis. Josep Schumpeter (1883-1950) mendefinisikan demokrasi sebagai suatu mekanisme untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, bukan suatu jenis masyarakat dan juga bukan seperangkat tujuan moral. Ia bersikeras mengatakan tak ada kandungan moral dalam demokrasi. Demokrasi adalah mekanisme pasar : para pemilih adalah konsumen; para politisi adalah wiraswastawannya. Sedangkan Anthony Downs, menggambarkan partai-partai dalam kehidupan politik demokratis adalah sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakininya akan memberikan keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama. Karena kelompok-kelompok orang yang berbeda mencari jalan yang berlainan untuk mendapatkan dukungan dari
1. Menjadi instrumen penting menciptakan pragmatisme politik selanjutnya membentuk kapitalisme politik.
2. Dalam kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat mewakili kepentingan orang lain (legislatif).
3. Di Indonesia, di saat kelompok kepentingan adalah mayoritas tunggal (orde baru), berpandangan bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial, sehingga menjadikan kebijakan publik berwujud dalam peraturan untuk pengendalian sosial. Namun saat reformasi, kelompok kepentingan tersebut terdiri dari beberapa kelompok yang saling tergantung dan membutuhkan, maka kebijakan publik yang terwujud adalah kesepakatan atau hasil dari tawar menawar (cerminan kepentingan masing-masing kelompok). Paradigma ini selalu berujung pada kegagalan dalam menjawab persoalan kesejahteraan dan keadilan rakyat.
4. Rezim pemerintahan sah yang dibentuk oleh prosedur demokratis (pemilu) seringkali tidak memiliki kewenangan karena diambil alih oleh kekuatan uang internasional.
5. Tingginya partisipasi politik yang ada (pemilu) seringkali mengalami bias dengan praktek mobilisasi pemilih dengan berbagai latar motivasi, di antaranya primordialisme dan pragmatisme baik dilakukan oleh kelompok rasional maupun tradisional.
Demokrasi yang Tidak Demokratis?
AS sebagai the only super power akan selalu mempertahankan dominasi demokrasi dan kapitalisme. Apalagi setelah musuh kapitalisme (komunis) berhasil dikalahkan. Keinginan AS untuk tetap menjadi satu-satunya kekuatan dunia dimulai sejak George F. Keenan, menulis Long Telegram (dimuat dalam jurnal Foreign Affairs), dikenal dengan doctrine of containment, melahirkan strategi Perang Dingin yang dijalankan oleh AS Serikat saat berhadapan dengan Uni Soviet. Foreign Affairs juga bersama-sama dengan Fund for Peace, menerbitkan skenario berisi prediksi negara-negara yang gagal. Bisa jadi (di)runtuh(
Negara-negara yang terletak di Afrika Barat dan berbatasan dengan Liberia, Guinea, Mali, Burkina Faso dan Ghana diprediksi akan mengalami kehancuran ekonomi, politik, dan mengalami kerusuhan massal yang berkepanjangan. Karenanya membutuhkan intervensi negara asing untuk menyelesaikan masalahnya. Dan yang merasa paling berhak adalah AS.
Selanjutnya, Republik Demokrasi Rakyat
Irak telah diporak porandakan oleh AS. Disamping perang saudara yang masih terus berlanjut hingga sekarang. Baik antara Syiah dan Sunni maupun antara kelompok mujahidin dan pasukan yang pro pendudukan AS. Perlu digarisbawahi, pihak yang diuntungkan adalah negara-negara donor yang kelak menguras habis potensi alam Irak. Dan AS, menduduki negara peringkat pertama yang menanamkan modal besar untuk ditarik kembali setelah perang. Selanjutnya adalah Yaman disebut sebagai negara dengan indeks ancaman keamanan yang tinggi, pelayanan umum yang rendah dan pembangunan yang tidak merata. Bahkan Foreign Affairs menyebut Yaman sebagai negara yang kehilangan legitimasi dari rakyatnya sendiri. Sebelum Yaman, pada urutan ketujuh adalah
Berbeda dengan Libanon, Mesir, meski disebutkan memiliki angka yang tinggi pada tekanan dalam negeri, pembangunan yang tak seimbang serta delegitimasi pemerintahan, Foreign Affairs tak menganggap negeri Piramida ini membutuhkan intervensi asing. Selanjutnya disusul
Sebuah laporan lain (sudah terjadi), yang ditulis oleh Kolonel Daniel Smith, dari Center for Defense Information, cikal bakal konflik yang mengantar pada disintegrasi di Indonesia setidaknya ada empat titik. Pertama di Aceh, Papua, Maluku, dan terakhir (tengah dirancang) di
Selain doctrine of containment, ada doktrin clash of civilization yang juga dijadikan kebijakan politik yang diputuskan dalam konvensi Platform Partai Republik George W Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Disamping unilateralisme AS dan statusnya sebagai the only super power harus dipertahankan. Doktrin clash of civilization sebenarnya lahir dari artikel yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam jurnal Foreign Affairs, berkantor di
Cina memiliki 4 faktor penyokong global power (kekuatan dunia): produk domestik bruto (PDB), populasi, anggaran pertahanan, dan inovasi teknologi . Populasi Cina mencapai 1,299 miliar jiwa. Produk domestik bruto Cina mencapai 6,436 miliar dolar (2004) dan diperkirakan akan menjadi 25,155 miliar dolar di tahun 2025, sementara Cina pada 2004 telah mengeluarkan 65,2 miliar dolar untuk memperkuat pertahanannya. Sebetulnya sudah lama AS memperkirakan kemajuan Cina. Perang Vietnam yang dilakukan oleh AS pada masa Presiden Nixon, memancing keterlibatan Cina dalam membela Vietnam, sehingga kelak bisa dijadikan sebagai justifikasi bagi AS untuk menggebuk Cina. Namun gagal. AS pun terus memprovokasi
Secara retorik, alasan utama di balik seluruh kebijakan luar negeri AS Serikat yang intervensionis, adalah untuk mempromosikan demokrasi. Atas nama demokrasi, pemerintahan negeri Paman Sam, merasa berhak melakukan intervensi politik ke negara lain yang dipandang mengabaikan atau menciderai nilai-nilai dasar demokrasi. Berbagai penciptaan skenario dan doktrin politik AS kedepan sesungguhnya adalah upaya kebijakan "Promosi Demokrasi." Pada saat prediksi (rencana) ini akan dilangsungkan maka bukan mustahil kekuatan besar alternatif akan bangkit; di samping keangkuhan AS akan menjadi pelajaran : Demokrasi akan menjadi obsesi yang menakutkan dan menghancurkan bagi siapa pun yang hendak menegakkannya.
Demokrasi Menjelang Pemilu 2009
Memasuki pemilu 2009 popularitas SBY tidak terkejar. Penerapan strategi politik citra yang dimainkan menuai hasil yang gemilang. Hal ini bisa dilihat hasil survei mutakhir berbagai lembaga di dalam negeri yang menempatkan SBY pada posisi pertama. Dukungan hasil survey pencitraan yang diselenggarakan oleh lembaga internasional pun tak kalah hebat, seperti World Public Opinion (Suara Karya online, 22 Juli 2008), menempatkan SBY dalam urutan paling atas pemimpin Asia Pasifik yang paling bisa menyelesaikan persoalan dunia mengungguli PM Jepang Yasuo Fukuda (32 persen), PM Australia Kevin Rudd (31 persen), Presiden Korut Kim Jong-il (28 persen), PM India Manmohan Singh (21 persen), dan Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (19 persen).
Penerapan politik citra tak bisa dilepaskan dari fenomena pemilu legislatif 2004 yang berhasil menjadikan Golkar dan PDIP partai besar pemenang pemilu, tetapi pada saat sama menjadi antiklimaks: dominasi keduanya berakhir karena kedua partai tersebut gagal mengusung calonnya masing-masing dalam pemilihan presiden. Fenomena tersebut diyakini memberikan arti adanya pergeseran global politik
Sayangnya, tingginya popularitas SBY tidak secara signifikan menimbulkan persepsi yang popular terhadap keberhasilan kepemimpinannya. Hasil survey Reform Institute (November 2008) menghasilkan persentase ketidak puasan masyarakat dalam pemenuhan terhadap sembako yang harganya semakin mahal. 63% masyarakat menganggap pemerintahan SBY gagal dalam pemenuhan kebutuhan atas sembako. Selain itu responden juga menyatakan kecewa terhadap pemenuhan kebutuhan atas kesempatan kerja yang dianggap tidak berhasil (61,4%). Kemudian hasil survey Puskaptis (Desember 2008), "Sebanyak 38,45% responden mengaku pemerintahan SBY-JK tidak akan sanggup menyelesaikan krisis karena masa pemerintahan SBY-JK tinggal beberapa bulan lagi. Namun, 35,46% responden menyatakan yakin SBY-JK dapat menyelesaikan krisis. Sisanya sekitar 26,11% responden menjawab tidak tahu.
Keberhasilan politik citra sangat didominasi oleh peranan mass media. Oleh karenanya patut juga diduga bahwa kemenangan politik citra SBY tak terlepas dari dukungan sistematis jaringan media
Strategi politik citra SBY ternyata tidak berjalan sendirian. Kepungan iklan politik di semua kota di Indonesia, menjadi indikasi bahwa setiap pihak yang berkepentingan mencalonkan diri dalam pemilu 2009 menganggap politik citra melalui iklan politik menjadi sarana yang cukup ampuh untuk mengangkat popularitas. Contoh, Wiranto dengan isu kemiskinan, Prabowo dengan isu pertanian dan produk lokal, Sutrisno Bachrir dengan hidup adalah perbuatan. Iklan politik lebih dianggap cara yang mudah dan cepat untuk membentuk opini. Kekuatan uang dalam iklan politik telah mengaburkan track record pihak-pihak yang nyata-nyata mengalami krisis moral, terutama kasus korupsi. Kitapun lebih banyak mengenal calon-calon pemimpin bangsa ini melalui iklan daripada pokok pikiran, gagasan dan track recordnya.
Sementara itu, kekuatan liberal, diantaranya di sektor hulu (upstream) semakin merajalela, melalui kekuatannya pada UU Migas no 22 tahun 2001. (Undang-undang yang draftnya dibuat oleh AS melalui lembaga bantuannya USAID dan Bank Pembangunan Asia semakin memantapkan liberalisasi di sektor hulu) menyebabkan hilangnya kontrol pemerintah terhadap kebutuhan mendasar masyarakat, seperti BBM, elpiji, bahkan pupuk di kalangan petani. Konteks politik ekonomi laissez faire yang diterapkan pemerintah, menjadikan pemerintah memandang permasalahan pertumbuhan ekonomi sebagai permasalahan utama dibandingkan permasalahan kemiskinan, pengangguran, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, dan pemerataan kesejahteraan. Politik ekonomi ini menempatkan aspek material lebih tinggi dibandingkan aspek kemanusiaan, sehingga tidaklah aneh masalah peningkatan produksi dan distribusi BBM dengan cara menarik investor asing lebih diperhatikan pemerintah dibandingkan masalah mahal dan langkanya harga BBM dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Memasuki pemilu 2009, kekuatan elit politik dapat mempengaruhi peta kekuatan liberal dan sebaliknya, kekuatan liberal dapat mempengaruhi peta politik menjelang pemilu (bukan rakyat sebagai pihak yang berdaulat).
Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol dan pemilu 2009 sebenarnya cukup tinggi, terlihat dari putaran Pilkada yang diselenggarakan hingga 2008 lalu, rata-rata golput mencapai 30-40%. Karena bukan menjadi suatu rahasia kalau kekuatan politik menjelang Pemilu 2009 dibangun melalui upaya pemenangan dalam Pilkada yang sarat dengan politik uang, khususnya di tingkat kabupaten dan kota. Berjalannya demokrasi yang sarat dengan krakteristik transaksional selanjutnya ditandai dengan fenomena tak ada adanya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang tetap untuk di usung menjelang pemilu 2009 dalam berbagai konsolidasi parpol sebelum pemilu legislatif. (Gerindra memiliki 8 calon Presiden, PDIP merekomendasikan 2 calon Wakil Presiden, Golkar belum memiliki calon sama sekali). Partisipasi politik partai tidak terlalu peduli dengan ideologi partai. Orientasi parpol menjelang pemilu 2009 lebih kepada kalkulasi cost and analysis benefit koalisi bukan kepada orientasi kepentingan rakyat. Akibatnya proses politik tidak mampu mengangkat aspirasi dan kepentingan rakyat secara baik ditengah interaksi politik yang terjalin melalui iklan-iklan komersial dalam kerangka membangun citra (terutama partai-partai kecil) dan pembangunan aliansi-aliansi taktis elitis.
Tak akan ada partai pemenang pemilu 2009 tanpa koalisi. Partai berbasis nasionalis kerakyatan besar kemungkinan akan berkoalisi dengan partai borjuis. Partai berbasis Islam tradisionalis/modern besar kemungkinan juga akan berkoalisi dengan partai sekuler maupun sosialis. Untuk merambah
62 hari menjelang pemilu, kesiapan MK untuk mengantisipasi (mengeluarkan aturan) keputusan yang diambilnya, terkait suara terbanyak belum ada. Penetapan hasil pemilu (terutama legislatif) ditetapkan dengan suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut partai. Dalam mekanisme pemilihan, dimana pemilih boleh mencoblos atau memberi tanda contreng pada gambar partai atau caleg, maka jika terjadi hasil pemilihan yang sah terhadap partai, kemanakah suara tersebut akan diberikan? Berlarutnya kondisi ini tanpa kepastian akan menimbulkan titik rawan konflik pada perhitungan suara. Dan jika kondisi ini memang menjadi kepastian, patut diduga disengaja diciptakan dalam kerangka menciptakan cela pemanfaatan kepentingan-kepentingan tertentu untuk bermain. Secara umum, menjelang pemilu 2009 demokrasi yang berjalan di
1. Dipenuhi dengan anarkisme dalam penyampaian pendapat, kasus yang masih hangat adalah tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Aziz Angkat di tengah aksi
2. Kebebasan yang kebablasan. Semua ingin bebas berekspresi dan berpendapat, namun tidak perduli apakah kebebasan itu itu menggangu dan merusak pihak lain.
3. Pragmatisme politik yang sudah diluar batas kewajaran. Proses politik berjalan dengan dorongan utama money politik. Disamping masyarakat pemilihpun lebih menyukai (sadar) berjalan diatas pragmatisme politik jangka pendek serta primordial pragmatis.
4. Interaksi dan pendidikan politik dijalin melalui dominasi kekuatan kapital dengan iklan politik. Akibatnya sebagian besar elit politik yang akan dipilih dan akan mengurus negara ini dikenal pemilih karena iklan komersial politik bukan karena gagasan nyata, pokok pikiran, perilaku, moralitas dan tanggungjawab sosialnya yang kongkrit.
Membaca Kelemahan Negara Diantara Bom Mega Kuningan dan Konflik Papua
Tujuan Teror?
Kekacauan itu bermula ketika ICP Breakfast Roundtable yang dihadiri oleh sebagian besar WNA petinggi perusahaan minyak dan gas terpaksa “dihentikan” oleh hantaman bom. Kelihatannya peledakan ini memang ditujukan kepada para petinggi perusahaan minyak dan gas tersebut, pada Jumat (17/7/2009) pukul 07.47 WIB. Meluluhlantakkan JW Lounge, Hotel JW Marriott dan sepuluh menit kemudian menghantam Ritz Carlton. Korbanpun berjatuhan, diantaranya GM Anadarko Indonesia Co Gary ford dan Kevin S.
Pasca teror bom, muncul “dua ledakan opini” yang menggetarkan dan membuat ”panas
Awal investasi asing adalah penambangan emas dan tembaga yang dilakukan Freeport McMoran Gold & Copper di Papua, 1960 sebagai kebijakan politik yang bertujuan memperoleh dukungan AS dan imperialis global. Dan kini melalui “pemberian hutang kepada Indonesia” investasi itu berlanjut dengan “tekanan” dimana negeri ini mesti mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan mudah diakses oleh modal asing. Sikap politik inilah yang menimbulkan konflik tiada henti antara rakyat Papua yang sadar tergadainya hak-hak politiknya dengan pemerintah
Adanya kebijakan Otonomi Khusus bagi rakyat Papua – sebagai jalan keluar dari konflik yang dikeluarkan pemerintah
Meledaknya bom di Mega Kuningan dan konflik di Papua menjadi rangkaian kelemahan negara dari berbagai ketidakmampuan lainnya, seperti masalah TKI yang berpotensi menjadikan orang Indonesia “budak” di negeri orang; beralihnya sumber daya pembangunan milik hajat hidup rakyat kepada pihak asing. Dalam konteks ini economic rivalry lebih masuk akal daripada motif ideologis atau spirit keagamaan. Bom mega kuningan diakui mejadi persoalan global dalam menghadapi terorisme. Namun juga mesti diingat konflik Papua bukan melulu konflik politik domestik
Kebijakan penerapan pemberian utang berkedok bantuan luar negeri berupa proyek pembangunan maupun program kebijakan seringkali digunakan sebagai kontrol ekonomi dan politik negara maju terhadap negara penerima bantuan, hal ini dapat dilihat dari penerapan kebijakan Bank Dunia yang cenderung mendorong deregulasi, pencabutan subsidi ranah publik, perluasan pasar bebas, non proteksi, liberalisasi perbankan,regulasi dan liberalisasi briokrasi dan konstitusi (berbungkus program good governance).
Hutang adalah bukti konkrit adanya hegemoni neoliberalisme yang memberikan dominasi keuntungan negara-negara maju terhadap negara berkembang dan dunia ketiga dalam relasi ekonomi politik internasional. Negara-negara maju menggunakan lembaga Internasional (unholy trinity) seperti dalam bidang investasi pembangunan dunia melalui kedok Bank Dunia (World Bank), bidang keuangan moneter internasional dengan IMF dan bidang perdagangan melalui World Trade Organization (WTO). Hal ini dapat dilihat misalnya dari struktur keanggotaan dalam 184 negara anggota Bank Dunia, 150 negara berkembang di antaranya hanya memiliki kekuatan suara 33 persen. Sementara itu 34 negara maju di dalamnya memiliki kekuatan suara sebesar 67 persen suara hal ini menunjukkan dominasi struktur kepemilikan saham Bank Dunia, maka tidaklah mengherankan kebijakan yang lahir dari Bank Dunia, tidak lebih laksana koorporasi raksasa yang melahirkan kebijakan ”memfasilitasi” kepentingan pemegang saham terbesar. Mulai dari struktur kebijakan hingga penunjukan perusahaan rekanan Bank Dunia yang memiliki afiliasi terhadap negara maju.
DiLemahkannya Peran Negara?
Terlepas dari demokratis atau tidak, peran dasar negara adalah memberikan proteksi, kesejahteraan, hukum dan keadilan bagi warganya. Lemahnya peran negara dalam menjalankan ke-empat fungsinya tadi, menyebabkan perubahan struktural, aparatur dan kebijakan nyaris tidak menyentuh substansinya. Kecuali pergantian kekuasaan tiap
Mari kita lihat otoritas DPR,Yudikatif dan Birokrat yang seringkali menjadi komoditas transaksional (diperjual-belikan). Seluruh produk otoritas lembaga tadi akan dikendalikan oleh siapapun yang bisa membelinya (untuk kepentingan si pembeli, baik domestik maupun asing), tergantung kecocokan harga. secara hakikat komoditi yang diperjual belikan adalah kepentingan bangsa (termasuk kepentingan anak cucu kita). Dipemilu 2009 mereka sudah habis-habisan investasi (baik legislatif maupun presiden). Begitu memiliki legitimasi (legitimed) mereka akan segera berusaha mengembalikan investasinya dengan memasarkan otoritasnya kemana-mana. Biasanya akses ke pasar - otoritas sudah dijalin sebelumnya. Kondisi ini telah berlangsung sejak dulu dan pada pemilu 2009 semakin menggila. Rakyatlah yang harus menanggung semua kumulatif ini. sejarah bercerita bahwa mainstream bangsa ini tak pernah berseberangan dengan kekuasaan, meski kekuasaan itu adalah symbol dari penindasan, ketidakadilan atau kejahatan. Driving force dinamika politik yang terjadi bukan perlawanan atas penindasan itu, tetapi perebutan untuk bisa dapat posisi di tatanan yang menindas dengan motif untuk mendapatkan bagian yang sebesarnya-besarnya dari penindasan dan ketidakadilan yang sedang dirancangnya. hasil pemilu 2009 adalah refleksi dari dinamika di atas.Penghisapan Neoliberal terhadap
Kapitalisme global menawarkan kombinasi kesejahteraan material dari ekonomi pasar dengan kebebasan politik dan budaya dari demokrasi liberal. Akan tetapi modernitas liberal Barat ini sulit diterapkan banyak masyarakat di berbagai belahan dunia. Bahkan tidak jarang upaya sebuah negara untuk menerapkan asas-asas ekonomi pasar dan demokrasi liberal tersebut menghasilkan benturan dan persoalan baru. Benturan yang terjadi memunculkan fenomena ancaman terorisme sebagai permasalahan yang muncul sebagai hasil dari penyebaran asas-asas kapitalisme dan demokrasi liberal Barat tersebut. Kapitalisme dan demokrasi liberal memunculkan kecenderungan desentralisasi dalam konteks federalisme. Bagi kaum imprialis, desentralisasi dianggap akan mendekatkan sumber informasi lokal agar lebih responsif pada lingkungannya, kompetitif dan inovatif di antara unit-unit lokal tersebut. Pemerintah akan lebih dekat dan terjangkau oleh rakyat dalam konteks pelayanan dan meningkatkan pertanggungjawaban, legitimasi serta kualitas dari demokrasi. Kenyataannya, upaya pendelegasian wewenang dari negara ke pemerintahan lokal seringkali bermakna pada penguatan elit-elit lokal dan jaringan patronase yang memungkinkan mereka memelihara kontrol atas urusan mereka sendiri, terhindar dari evaluasi eksternal. Di di Indonesia, upaya untuk menyebarkan otoritas ke pemerintahan lokal, malah berujung pada peningkatan kesempatan korupsi hingga ke seluruh eselon.
Disisi lain, Imprialisme dan neolib juga melakukan kontrol ekonomi dan politik atas wilayah dan masyarakat lain, baik dengan kekuatan militer maupun dengan cara-cara yang lebih halus. Kebijakan dan praktik negara untuk memperluas kekuasaan dan dominasi, sering kali menggunakan cara-cara ekonomi. Apresiasi terhadap hakekat kapitalisme sebagai sistem dunia dimana negara pusat memanfaatkan kekuasaan atas wilayah pinggiran, saling untuk memperoleh pengaruh dan kontrol, dan bekerjasama untuk menjadi yang terbaik, dengan menggunakan cara apapun.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, karakteristik kapitalisme yang utama adalah mereduksi peran negara atau pemerintah. Sebagai respon dari trend ini IMF, Bank Dunia dan Amerika Serikat, memberikan tekanan pada pengurangan tingkat campur tangan negara dalam urusan ekonomi, dalam bentuk sebuah paket yang diberi label “Washington Consensus” yang diformulasikan atas asumsi “neoliberalisme”. Logika dari consensus ini terletak pada keberadaan sektor negara di banyak negara berkembang di dalam banyak kasus merupakan hambatan bagi tercapainya pertumbuhan dan persoalan ini hanya dapat diselesaikan melalui apa yang mereka sebut sebagai liberalisasi ekonomi. Namun kenyataannya, upaya liberalisasi ekonomi ini tidak membuahkan hasil seperti yang dijanjikan. Ketiadaan sebuah kerangka kerja institusional dari dimensi negara atau pemerintah di banyak negara, malah menghasilkan kehancuran setelah liberalisasi dilakukan. Hegemoni kebijakan ekonomi politik Negara maju melalui lembaga Internasional, cenderung memiskinkan rakyat negara dunia ketiga. Beban pembayaran Utang dan dampak liberalisasi dan pencabutan subsidi ranah public sector rakyat bawah seperti liberalisasi pendidikan, privatisasi), jasa (kesehatan dan pendidikan) dan liberalisasi pertanian menyebabkan pemiskinan terjadi semakin progresif. Pemiskinan ini didorong terhadap ketergantungan dan hegemoni Negara-negara maju yang dikondisikan dalam struktur sistem kebijakan Negara dunia ketiga yang tidak lagi pro terhadap rakyat, dan peran Negara sekedar fasilitator tidak lagi sebagai regulator yang proteksionis (mensejahterakan).Kebijakan Moneter internasional yang dilakukan oleh IMF pada krisis Keuangan
Kini, setelah puluhan tahun mengenyam keberhasilan dalam mengusung dan memaksakan agenda-agenda neoliberalisme ke berbagai penjuru dunia hingga menjadikan neoliberalisme bermetaforsa menjadi neo-imperialisme, rupanya kedigdayaan sistim neoliberalisme akhirnya roboh juga. Akhir-akhir ini dunia menyaksikan proses robohnya neoliberalisme yang nampaknya hampir tak terelakkan lagi dengan adanya krisis keuangan di AS beberapa waktu lalu. Krisis keuangan kali ini merupakan krisis terburuk dalam sejarah perekonomian neoliberalisme yang dianut dan dipuja oleh negeri paling adidaya di kolong jagat ini. Krisis finansial yang meluluhlantakkan Wall Street bermula pada Juli 2007, ketika pasar saham dunia bergejolak akibat kredit macet secara massal di sektor perumahan (subprime mortgage). Beberapa bulan kemudian, sejumlah raksasa finansial AS, antara lain, Bear Stearns, Northern Rock, Fannie Mae, Freddie Mac, dan terakhir bank investasi terbesar keempat di AS Lehman Brothers, bertumbangan satu-persatu. Beberapa perusahaan keuangan lainnya, Seperti Merrill Lynch, AIG, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley, juga terancam bangkrut dalam waktu dekat ini.Ironisnya, tindakan penyelamatan yang ditempuh dengan menggelontorkan dana talangan US $700 miliar atau sekitar Rp 6.440 triliun, justru mengingkari prinsip dasar sistim neoliberalisme, yang berkaitan dengan peniadaan intervensi pemerintah. Demikian juga dengan kebijakan untuk mensuspen aktivitas pasar modal yang dilakukan hampir secara serentak oleh pemerintah di berbagai negara pemuja neoliberalisme, termasuk di pasar modal
Oleh : Ikhsan Ahmad.
Penulis : Staf Pengajar Tetap pada Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA BANTEN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar