Kamis, 07 Januari 2010

MENGUBAH PENCITRAAN

Mengubah Pencitraan

*Oleh : Achmad Surya Mandala*

Pada tataran ideal, mahasiswa selalu dianggap sebagai agent of social change atau kelompok yang diharapkan mampu membawa perubahan atau pencerahan bagi masa depan bangsa dan tatanan masyarakat secara makro. Namun patut disayangkan, tugas mahaberat ini masih belum sepenuhnya disadari atau paling tidak belum mampu merasuki alam pikiran mereka. Maka tidak mengherankan jika pada beberapa komponen mahasiswa tampak lebih cenderung menunjukkan sikap pragmatis, berfikir pendek, dan acuh terhadap persoalan-persoalan krusial yang terjadi pada tataran akar rumput (grassroot).

Kecenderungan sebagian mahasiswa semacam ini acapkali ditunjukkan dalam berbagai sikap yang bersifat hedonistik, egosentrik, dan sejenisnya, yang sesungguhnya jauh dari nilai-nilai tradisi intelektual dan kecendekiawanan. Contoh gampang dapat kita sebut tawuran mahasiswa. Fenomena ini belakangan mulai banyak menggejala, tidak hanya di wilayah-wilayah metropolitan tapi juga merambah pada komunitas rural. Karena begitu janggal dan anehnya fenomena ini, sampai-sampai Profesor Sarlito Wirawan (2005), pakar psikologi Universitas Indonesia, dalam sebuah artikelnya, bertanya-tanya penuh keheranan, “Mahasiswa kok tawuran?” Bahkan yang lebih membelalakkan mata, tidak jarang suatu komunitas mahasiswa tertentu, atau paling tidak oknum-oknum mahasiswa, yang terlibat dalam tindak kriminal, mulai dari Narkoba, pencurian, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya.

Fenomena-fenomena tersebut paling tidak menyadarkan kita tentang sesuatu yang kontraproduktif. Apa yang kita saksikan terkait sepak terjang mahasiswa menunjukkan indikasi kuat bahwa orientasi, visi, dan misi mahasiswa sebagai calon elit-elit intelektual yang kelak diharapkan melahirkan pencerahan dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat kini sudah mulai tercabut dari akar filosofis pendidikan tinggi kita. Dari sinilah kemudian muncul pencitraan yang tidak membanggakan yang dialamatkan pada dunia kampus, khususnya mahasiswa.

Stigmatisasi publik terhadap civitas akademika jika dibiarkan terus berlarut-larut dikhawatirkan akan melahirkan sikap skeptis atau bahkan ketidakpercayaan publik terhadap dunia akademis. Pada era reformasi, misalnya, yang diklaim sebagai era kemenangan mahasiswa dan demokrasi, telah banyak mempertontonkan realitas yang sangat menohok bahkan ironi. Coba kita hitung sudah berapa orang tokoh yang menjadi simbol intelektualisme kampus silih berganti duduk di kursi pesakitan karena dijerat dengan kasus-kasus kriminal? Dan sudahkah kita hitung pula seberapa banyak tokoh intelektual yang kemudian harus menghuni jeruji besi? Inilah sekelumit kenyataan yang dihadapi dunia akademik saat ini.

Tampaknya, harapan untuk menjadikan dunia kampus sebagai pusat keunggulan (center of exellence) dan kawah candradimuka yang menghasilkan “punggawa-punggawa” atau “kesatria-kesatria” yang cerdas, santun, dan perkasa, akan menemukan banyak batu sandungan. Oleh karena itu, paling tidak, tugas mendesak para pelaku pendidikan tinggi saat ini adalah melakukan otokritik (muhasabah) dan segera melancarkan perubahan-perubahan mendasar, baik dalam ranah kelembagaan (institusi), orientasi pendidikan, metodologi, epistemologi, dan sebagainya. Dengan melakukan hal-hal tersebut, tentu kita semua berharap dapat membelokkan stigma atau pencitraan publik yang negatif terhadap dunia kampus (masyarakat akademis).

Upaya ini tentu tidak mudah diwujudkan, terlebih di tengah derasnya opini publik yang kian terbentuk, namun menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Oleh karena itu, seluruh komponen pelaku pendidikan tinggi, baik pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional maupun masyarakat (swasta), harus bekerja keras dan mengerahkan segenap energi untuk mewujudkannya.

Kita tidak mungkin menampik bahwa keberadaan mahasiswa sebagai identitas dunia akademis akan selalu membutuhkan perhatian banyak pihak. Sebagai obyek sekaligus subyek pembelajaran, sejatinya mahasiswa tidak hanya dirancang untuk menjadi mesin-mesin yang profesional atau intelektual yang mumpuni dalam bidang keilmuan tertentu, tapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana menanamkan etos kecendekiawanan dalam diri mereka.

Etos kecendekiawanan akan tercermin dalam orientasi, sikap, dan perilaku yang cenderung lebih bijak dan senantiasa mengedepankan kepentingan-kepentingan yang lebih luas dan esensial. Seorang cendekiawan dengan serta-merta akan tersentuh nuraninya manakala menyaksikan ketimpangan dan penderitaan di sekelilingnya. Dia juga tidak akan berpangku tangan menyaksikan ketidakadilan terjadi di depan matanya. Singkatnya, etos kecendekiawanan akan melahirkan kepekaan sosial (social responsibility) dalam dirinya dan meluruhkan setiap bentuk keakuan, terlebih kesombongan atau keangkuhan intelektual.

Etos semcam ini dapat lahir atau paling tidak selaras dengan dua hal. Pertama, berangkat dari dogma-dogma ajaran keagamaan. Kita tentu sadar, bahwa tak satu pun agama atau sistem kepercayaan tertentu yang mengajarkan umatnya untuk berbuat jahat atau menimbulkan penderitaan bagi lingkungannya. Premis terbaliknya (mafhum mukhalafah) adalah bahwa setiap umat diharuskan menciptakan suasana kondusif, keadilan, dan kesejahteraan bagi alam sekitarnya. Dengan demikian, keyakinan keagamaan akan mengantarkan menganutnya memiliki etos kecendekiawanan.

Kedua, program-program pengabdian kepada masyarakat, sebagai implementasi dari Tridharma Perguruan Tinggi, merupakan salah satu wahana yang berfungsi menempa dan mengasah etos kecendekiawanan mahasiswa. Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah contoh konkret bagaimana Perguruan Tinggi berupaya menanamkan etos kecendekiawanan. Dalam arti kata lain, ilmu pengetahuan yag diperoleh dibangku perkuliahan tidak akan banyak bernilai guna jika tidak dinikmati oleh orang lain dan ditransformasikan kepada yang membutuhkannya.

*MAHASISWA UNTIRTA*

SEMESTER 7

FISIP KOMUNIKASI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar